(A) Sejarah Pulau Dewata BALI

http://www.diveindonesia.net/wp-content/uploads/2014/01/balii.jpg 
 
Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.

Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.

ASAL USUL SEJARAH PULAU BALI

MASA PRASEJARAH

Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.

Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.

Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :

Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
Masa bercocok tanam
Masa perundagian

MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT SEDERHANA

Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.

Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya.

Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.

MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT LANJUT

Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.

Alat-alat semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah lukisan kadal seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku.

MASA BERCOCOK TANAM

Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.

Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.

MASA PERUNDAGIAN

Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.

Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.

MASUKNYA AGAMA HINDU

Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.

Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.

MASA 1343-1846

KEDATANGAN EKSPEDISI GAJAH MADA

Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal wangsa Kepakisan.

PERIODE GELGEL

Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl'gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686).

ZAMAN KERAJAAN KLUNGKUNG

Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.

Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

KERAJAAN - KERAJAAN PECAHAN KLUNGKUNG
Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi.
Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
Kerajaan Denpasar,yang kemudian menjadi Kota Madya Denpasar

MASA 1846 - 1949

Pada periode ini mulai masuk intervensi Belanda ke Bali dalam rangka "pasifikasi" terhadap seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja membangkitkan sentimen nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh administrasi Batavia dicoba untuk dikuasai dan disatukan di bawah administrasi. Belanda masuk ke Bali disebabkan beberapa hal: beberapa aturan kerajaan di Bali yang dianggap mengganggu kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima monopoli yang ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali).

PERLAWANAN TERHADAP ORANG - ORANG BELANDA

Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Perang Buleleng (1846)
Perang Jagaraga (1848--1849)
Perang Kusamba (1849)
Perang Banjar (1868)
Puputan Badung (1906)
Puputan Klungkung (1908)

Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.

ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA

Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali.

Struktur pemerintahan di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya.

LAHIRNYA ORGANISASI PERGERAKAN

Akibat pengaruh pendidikan yang didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama "Suita Gama Tirta" yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih haus dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Shanti" pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah yang bernama "Shanti Adnyana" yang kemudian berubah menjadi "Bali Adnyana".

Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah yang diberi nama "Suryakanta". Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama "Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok" yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studiefonds.

ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil.

Karena selama pendudukan Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.

ZAMAN KEMERDEKAAN

Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja.

Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI menggunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, MBO sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat.

Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan "Long March". Selama diadakan "Long March" itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat.

PUPUTAN MARGARANA

Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" atau perang habis-habisan di desa margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20 november 1946 di kenal dengan perang puputan margarana, dan kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

KONFERENSI DENPASAR

Pada tanggal 7 sampai 24 Desember 1946, Konferensi Denpasar berlangsung di pendopo Bali Hotel. Konferensi itu dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota Makassar (Ujung Pandang).

Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti pada zaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang dibantu oleh patih, punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah adalah kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di atas raja, yaitu dewan raja-raja.

PENYERAHAN KEDULATAN

Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarakan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, tanggal 27 November 1949, GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil.

Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni Indonesia - Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DAFTAR KABUPATEN DAN KOTA DI BALI

No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Badung Badung
2 Kabupaten Bangli Bangli
3 Kabupaten Buleleng Singaraja
4 Kabupaten Gianyar Gianyar
5 Kabupaten Jembrana Negara
6 Kabupaten Karangasem Karangasem
7 Kabupaten Klungkung Klungkung
8 Kabupaten Tabanan Tabanan
9 Kota Denpasar 

DAFTAR GUBERNUR BALI
1. Anak agung bagus sutedja : tahun 1950 - 1958
2. I Gusti Bagus Oka : tahun 1958 - 1959
3. Anak agung bagus sutedja : tahun 1959 - 1965
4. I Gusti putu martha : tahun 1965 - 1967
5. Soekarmen : tahun 1967 - 1978
6. Prof. Dr. Ida Bagus mantra : tahun 1978 - 1988
7. Prof. Dr. Ida bagus oka : tahun 1988 - 1993
8. Drs. Dewa made beratha : tahun 1993 - 2008
9. I Made Mangku Pastika : tahun 2008 - 2013
10. I MadeMangku Pastika : tahun 2013 - 2018

BIODATA PULAU BALI :

Batas Wilayah :
- Utara : Laut Bali
- Selatan : Samudera Indonesia
- Barat : Provinsi Jawa Timur
- Timur : Provinsi Nusa Tenggara Barat

Hari Jadi Bali : 14 Agustus 1959
Ibukota : Denpasar (Dahulu Singaraja)
Koordinat : 9º 0' - 7º 50' LS
114º 0' - 116º 0' BT
Luas : 5.634 KM2

Situs Web : www.baliprov.go.id

Lagu Daerah : Bali Jagaddhita

Pantai Nihiwatu sumba

Keindahan Pantai Nihiwatu


http://planetsurfonline.com/uploads/new_gallery/1407746760.jpg

Pantai Nihiwatu, memang tidak banyak yang mendengar nama pantai tersebut. Namun siapa sangka, pantai itu berada di posisi ke-17 dari 100 pantai terbaik di dunia dan satu-satunya pantai di Indonesia yang terpilih menjadi pantai terbaik di Asia. Pantai ini begitu sempurna meski membutuhkan waktu tempuh cukup panjang untuk dapat mencapai lokasi, Namun, semua itu sepadan dengan air lautnya yang jernih, pasir pantainya yang bersih, dan suasana matahari terbenam yang menakjubkan.

Nihiwatu berada di wilayah Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan menjadi salah satu tujuan para surfer dunia untuk mencoba keganasan ombak pantai tersebut, Mereka menjulukinya dengan God’s Left. Maka tidak heran jika pelancong yang datang banyak berasal dari luar negeri. Sayangnya, untuk dapat menikmati keindahan dan kedahsyatan ombak Nihiwatu tidak sembarang orang dapat melakukannya, termasuk orang Sumba sendiri. Pantai Nihiwatumemang menjadi pantai privat bagi kalangan tertentu. Kedengarannya memang sedikit aneh, tapi itulah kenyataan yang berlaku untuk Pantai Nihiwatu. Pantai berpasir putih sepanjang 2,5 km ini merupakan satu dari sepuluh pantai terbaik di Asia.

Terletak di arah 30 km dari Kota Waikabubak,Kabupaten Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Tempat ini sangat cocok bagi yang ingin menyepi, dan menikmati hawa pantai yang asli, karena selain jauh dari keramaian kota, tempat ini belum banyak di jamah oleh tangan-tangan industri. Pantai Nihiwatudikelola oleh sebuah resort internasional bernama Resort Nihiwatu. Tidak semua orang dapat bebas memasuki lokasi pantai ini, karena penjagaan yang ketat. Hanya tamu Resort Nihiwatu saja yang diperbolehkan. Jika ingin menikmati keindahan Pantai Nihiwatu, tentunya harus memesan kamar untuk menginap diResort Nihiwatu terlebih dahulu.

Bangunan resort ini terdari dari villa-villa yang menghadap ke laut, bungalow dengan 3 kamar tidur besar yang dibangun di atas bukit yang dilengkapi dengan kolam pribadi yang menghadap ke Samudera Hindia. Begitu pula dengan restorannya yang dibangun menghadap ke arah pantai dengan model bangunan terbuka. Arsitektur dan ornamen bangunan yang ada di resort ini merupakan gabungan dari tradisional dan modern. Resort ini memang menawarkan keindahan laut dengan keeksotisan budaya Pulau Sumba.

Selain menikmati keindahan laut dan keeksotisan budayanya, banyak para tamu resort ini yang berselancar di Pantai Nihiwatu. Tidak semua peselancar bisa berselancar bersamaan dalam satu waktu. Di tempat ini hanya dibatasi maksimal 10 peselancar yang berada di pantai demi menjaga keamanan dan keselamatan mereka. Jika sudah ada 10 peselancar di pantai, peselancar lainnya harus menunggu giliran. Memang, saat menunggu giliran, ada banyak aktivitas yang dapat dilakukan seperti memancing, snorkeling, scuba diving atau berperahu ke daerah teluk Pantai Konda Maloba, mengamati burung, bersepeda gunung hingga trekking ke air terjun.

Ombak di tempat ini merupakan salah satu yang tercepat di dunia dan ikan yang paling banyak disini adalah mackerel Spanyol, wahoo, dan trevally. Tidak diragukan kalau Nihiwatu merupakan salah satu pantai dengan ombak terbaik di Indonesia. Kita sebagai orang Indonesia harus berbangga ternyata di negara kita masih banyak tempat yang indah dan masih tersembunyi. Pantai Nihiwatu di Sumbabahkan berhasil mengalahkan keindahan panorama Hanalei Bay di Hawaii yang terkenal. Hal tersebut membuat resort ini memenangkan penghargaan sebagai hotel terbaik ke-2 di Indonesia pada tahun 2012. Walaupun pemilik resort ini adalah seorang warga negara asing, namun karyawannya adalah penduduk lokal dan mereka menjaga dengan baik kebersihan pantai dan fasilitas yang ditawarkan.

Kampung Budaya Osing (Kemiren) , Banyuwangi

https://blambangannews.files.wordpress.com/2012/03/wisata-osing01.jpg

Desa Wisata Osing atau Using berada di Desa Kemiren , Kecamatan Glagah di Kabupaten Banyuwangi. Penduduk di desa ini merupakan kelompok masyarakat yang memiliki adatistiadat dan budaya khas sebagai satu suku, yang dikenal sebagai suku Osing (Using). Pemerintah menetapkannya , sebagai daerah eagar budaya dan mengembangkannya sebagai Desa Wisata (Suku) Using (Osing)
 
Memasuki Desa Kemiren benar-benar terasa berada di tempat  yang patut dinikmati sebagai satu pengalaman baru  Bangunan mmah berjajar dan saling berdekatan di komplek pemukiman yang padat penduduk dt sepanjang jalan menyambut wisatawan sebelum tiba di tempat rekreasi.
 
Dalam bercocok tanam, masyarakat Kemiren menggelar tradisi selamatan sejak menanam benih, saat padi mulai berisi, hingga panen. Saat masa panen tiba, petani menggunakan ani-ani diiringi tabuhan angklung dan gendang yang dimainkan di pematang-pematang sawah.Saat menumbuk padi, para perempuan memainkan tradisi gedhogan, yakni memukul-mukul lesung dan alu sehingga menimbulkan bunyi yang enak didengar. 

Setelah ditetapkan menjadi Desa Wisata Using, tahun 1995 Bupati Purnomo Sidik membangun anjungan wisata yang terletak di utara desa. anjungan yang berdiri di atas lahan 2,5 hektar ini dibangun dengan biaya Rp 4 miliar. Anjungan ini dikonsep menyajikan miniatur rumah-rumah khas Using, mempertontonkan kesenian warga setempat, dan memamerkan hasil kebudayaan. 

Di tempat rekreasi dibangun fasilitas wisata seperti kolam renang, tempat bermain, dan tentu saja ada bangunan rumah khas masyarakat Osing serta bangunan museum modern yang mamajang berbagai perlengkapan dan pernik budaya Osing. Cukup dengan uang Rp 5.000 untuk tiket masuk, wisatawan bisa menikmati fasilitas rekreasi sepuasnya.

Posisi Desa Kemiren sangat strategis menuju wisata Kawah Ijen. Desa ini merniliki luas117.052 m2 memanjang hingga 3 km yang di kedua sisinya dibatasi oleh dua sungai, Gulung dan Sobo yang mengalir dari barat ke arah timur. Di tengah-tengahnya terdapat jalan aspal selebar 5 m yang menghubungkan desa ini ke kota Banyuwangi di sisi timur dan pemandian Tamansuruh dan ke perkebunan Kalibendo di sebelah barat.

Pada siang hari, terutamapada hari-hari libur, jalan yang membelah Desa Kemiren cukup ramai oleh kendaraan umum dan pribadi yang menuju ke pemandian Tamansuruh, perkebunan Kalibendo maupun ke lokasi wisata Desa OSing.

Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah mempertemukan pengusaha Bali dan Banyuwangi yang dikemas dalam Gathering Night in Bali. Dengan harapan meningkatkan kunjungan wisata ke Banyuwangi.

Sejarah Masyarakat Osing

Desa.yang berada di ketinggian 144 m di atas p ermukaan laut yang termasuk dalam topografi rendah dengan curah hujan 2000 mm/tahun sehingga memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22-26°C ini rnemang cukup enak dan menarik dari sudut suhu udara dan pemandangan untuk wisata.

Mengamati bentuk rumah di Kemiren sepertinya sarna. Namun jika diamati lebih teliti ada perbedaan pada atap rumah yang ternyata menandai status penghuninya. Rumah yang beratap empat yang disebut ‘tikel balung’ melambangkan bahwa penghuninya sudah mantap. Rumah ‘crocogan’ yang beratap dua mengartikan bahwa penghuninya adalah keluarga muda dan atau keluarga yang ekonominya relatif rendah, dan rumah “baresan’ yang beratap tiga yang melambangkan bahwa pemiliknya sudah mapan, secara ma·teri berada di bawah rumah bentuk ‘tikel balung’.

Hampir di setiap rumah ditemukan lesung (alat penumbuk padi), dan gudang tempat menyimpan sementara hasil panen. Di beberapa sudut jalan tampak gubuk beratapkan ilalang, yang dibangun di ujung kaki-kaki jajang  (bambu, dalam bahasa Osing) yang tinggi. Bangunan ini digunakan oleh masyarakat untuk “cangkruk” sambil mengamati keadaan di sekeliling desa. Pada masa lalu, gubuk seperti ini sengaja dibangun untuk memantau kedatangan “orang asing” yang mencurigakan .
Sejarahnya, suku Osing saran seperti suku Tengger, yang merupakan masyarakat yang setia kepada Raja Majapahit yang menyelamatkan diri ketika kerajaan diserang dan runtuh sekitar tahun 1478 M. Sebagian berhenti di pegunungan Tengger (sekarang menjadi kelompok masyarakat suku Tengger) di Probolinggo dan sebagian melanjutkan perjalanan hingga ke ujung timur P Jawa (Banyuwangi).
Ada pula kelompok yang terus menyeberangi selat (Bali). Kelompok masyarakat yang mengasingkan diri ke ujung timur Jawa ini kemudian mendirikan kerajaan Blambangan di Banyuwangi yang bercorak Hindu-Buddha seperti halnya kerajaan Majapahit. Kerajaan Blambangan berkuasa selama dua ratusan tahun sebelum jatuh ke tangan kerajaan Mataram Islam pada tahun 1743 M.

Orang-orang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat budaya maupun bahasanya. Desa Kemiren lahir pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1830-an. Awalnya, desa ini hanyalah hamparan sawah dan hutan milik penduduk Desa Cungking yang merupakan cikal-bakal masyarakat Osing.

Hingga kini Desa Cungking juga masih tetap ada. Letaknya sekitar 5 km arah timur Desa Kemiren. Hanya saja, saat ini kondisi Desa Cungking sudah menjadi desa kota.

Saat itu, masyarakat Cungking memilih bersembunyi di sawah untuk menghindari ten tara Belanda. Para warga enggan kembali ke desa asalnya di Cungking. Maka dibabatlah hutan untuk dijadikan perkampungan. Hutan ini banyak ditumbuhi pohon kemiri dan durian. Maka dari itulah desa ini dinamakan Kemiren. Pertama kali desa ini dipimpin kepala desa bernama Walik. Konon dia termasuk salah satu keturunan bangsawan.

Seperti halnya masyarakat suku Tengger, masyakat Osing di Kemiren bukan masyarakat eksklusif yang menutup diri seperti suku Badui. Di satu sisi, mereka sangat terbuka terhadap kemajuan jaman, seperti tampak pada eara berpakaian dan arsitektur rumah masa kini. Tapi di sisi lain, mereka kukuh menjalankan tradisi nenek moyang, mulai kehidupan sehari-hari sampai yang sacral seperti perkawinan sekalipun.

Cagar Budaya

Desa Kemiren telah ditetapkan sebagai Desa Osing yang sekaligus dijadikan cagar budaya untuk melestarikan keosingannya. Area wisata budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai eagar budaya Osing. Banyak keistemewaan yang dimiliki oleh desa ini di antaranya penggunakan bahasa yang khas yaitu bahasa Osing.

Kekhasan kehidupan dan pemukiman penduduk serta adat-istiadat suku Osing menjadi modal utama pemerintah daerah membangun Desa Wisata Osing. Wisata Osing yang sebenarnya adalah wisata budaya. Fasilitas rekreasi hanya merupakan tambahan yang dibangun sebagai pelengkap, Coba berkunjung ke desa ini pada saat diselenggarakan upacara adat “Ider Desa” misalnya, maka paket wisata budaya di Kemiren sangat lengkap.

Para ahli sejarah lokal cukup yakin bahwa julukan “Osing” itu diberikan oleh para imigran yang menemukan bahwa kata “tidak” dalam dialek lokal adalah “Osing”, yang berbeda dari kata “ora” dalam bahasa Jawa. Orang yang sebenarnya Jawa itu kini disebut Osing saja atau juga disebut Jawa Osing.

Ini memiliki ciri khas yaitu ada sisipan “y” dalam pengucapannya. Seperti contoh berikut ini: madang (makan) dalam bahasa Osing menjadi “madyang”, abang (merah) dalam bahasa Osing menjadi “abyang”. Masyarakat desa ini masih mempertahankan bentuk rumah sebagai bangunan yang memiliki Keunikan lainnya terdapat pada tradisi masyarakat yang mengeramatkan situs Buyut Cili, tiap malam Senin dan malam Jumat warga yang akan membuat hajatan selalu melakukan doa dengan membawa “pecel pitik” atau yang bias a kita kenal dengan sebutan urap-urap ayam bakar di situs Mbah Buyut Cili yang dipercaya sebagai salah seorang leluhurnya.