Pulau Kei

Pulau Kei Surga Dunia di Tanah Maluku


Pulau Kei adalah salah satu potongan ketenangan yang bisa Anda temukan di salah satu ujung Indonesia. Dipenuhi dengan pesona dan rasa sihir, dari keindahan langit biru, dengan laut membentang tak berujung dan pasir yang lembut. Secara historis, pulau ini diakui sebagai Kepulauan Rempah-Rempah legendaris, Provinsi Maluku yang memesona adalah rumah bagi lebih dari banyak bunga pala dan pala.

Di sini, di Maluku Tenggara, di pulau Warbal kecil di gugusan Kei, Anda akan menemukan pemandangan yang tidak pernah Anda temukan sebelumnya. Tidak seperti kebanyakan pantai yang membentang di sepanjang pantai sebuah pulau, pantai Ngutafur justru meluas ke arah laut. Sebuah gundukan pasir yang tak terputus sekitar 2 kilometer panjangnya, dan memiliki lebar 7 meter dihiasi dengan pasir putih yang sangat halus bak tepung. Pantai ini seakan tidak memiliki ujung, hamparan laut biru jernih juga akan menyambut kaki Anda di pantai ini. Suasana yang Anda dapatkan di pantai ini tidak pernah akan Anda dapatkan di tempat lain di manapun di seluruh dunia. Ketenangan dan kesunyian pulau ini tidak ada duanya. Pulau ini sangat cocok untuk tempat melarikan diri dari keriuhan kota besar dengan menghabiskan seharian berjalan-jalan di bibir pantai. 

 http://www.eafm-indonesia.net/public/images/3-Kei.jpg 

Pulau Kei yang sunyi ini memiliki pasir putih yang sangat lembut tidak ada pasir yang lembut selembut pulau ini. Sekitar pantai pun dipercantik dengan berdirinya beberapa pohon yang membuat tempat ini makin teduh. Meski di luar terlihat cantik, sempatkan untuk memanjakan mata Anda untuk menyapa pemandangan di bawah laut yang tak kalah cantiknya yang bersembunyi di bawah laut tenang nan biru menunggu untuk Anda temukan. Perairan Maluku kaya akan terumbu karang, bahkan banyak terlihat dari sudut pandang Anda ketika Anda menaiki perahu. Berkat airnya yang jernih, sehingga memungkinkan Anda untuk melihat apa yang bersembunyi di dalamnya. Ratusan spesies ikan dan kehidupan laut lainnya berkembang dalam terumbu karang, jadi pastikan untuk mengambil snorkel dan kacamata dan lihat apa yang disembunyikan pulau ini untuk Anda di dalam lautnya.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWLCeAI_W4b1xxZ_Nm33qSKiZWHuo96nhxfck3bcD0NbxbBu1sbLs0YnJGqC3fU1wLqDBqJHcBugUwXB_N2-AobrWvYc-2ZBlNt_6OdmpRMePBEWYEpSigwn4ZX5cyVpi5sWSwF-CS019v/s1600/img_60421.jpg

Juga hal yang tak bisa Anda lewatkan di pulau ini adalah berinteraksi dengan Penyu Belimbing raksasa yang oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai Tabob. Spesies ini adalah termasuk salah satu spesies yang dilindungi, yang mana spesies ini membuat sarangnya di Pantai Ngurtafur dan dipantau langsung oleh WWF. Bahkan Anda juga dapat melihat segerombolan pelikan yang bermigrasi dari Australia dan Papua Nugini ke kepulauan Maluku. Kepulauan Kei merupakan bagian dari Wallacea, sekelompok pulau di Indonesia yang dipisahkan oleh perairan dalam dari kontinen Asia dan Australia, dan masih banyak alasan lainnya yang tidak bisa digambarkan oleh kata-kata mengapa Anda harus mengunjungi Pulau Kei.

soe hok gie sekali lagi

https://dapurkata45.files.wordpress.com/2013/12/soe_copy1.jpg


 Empat puluh tahun yang lalu, Indonesia telah kehilangan salah satu anak bangsa terbaiknya di puncak tertinggi Pulau Jawa. Dia adalah akademisi, aktivis, humanis, dan pecinta alam yang berhasil menggagas perubahan sosial di tahun 1966 bersama kawan-kawan mahasiswanya yang lain.

Dia adalah seorang pemuda yang enggan terkooptasi oleh penguasa dan tidak takut untuk melancarkan kritik, bahkan kepada rekan-rekannya semasa perjuangan meruntuhkan Orde Lama. Dia adalah seorang yang memilih menjadi “pohon oak” yang berdiri tegak melawan angin, ketimbang menjadi “pohon bambu” yang mudah ikut arus. Dia adalah Soe Hok Gie, seorang pemuda yang tetap teguh pada perjuangan melawan ketidakadilan hingga akhir hayatnya.

http://www.fokal.info/fokal/wp-content/uploads/2013/05/RBF-GIE.jpgSikap kritisnya di awal era Orde Baru telah menjadikan dirinya sebagai lawan penguasa pada saat itu. Meski dirinya turut serta meruntuhkan RBF-GIEdominasi Partai Komunis Indonesia (PKI), namun dirinya justru bersuara paling keras atas penangkapan dan pembunuhan kader-kader PKI ataupun mereka yang disangka sebagai kader-kader PKI.

Dia menganggap proses pengadilan terhadap kader dan simpatisan PKI sangat jauh dari adil. Hal inilah yang membuat gerah para penguasa, dan dia sendiri mengalami beberapa ancaman selama melancarkan kritik atas kebijakan Orde Baru dalam memberantas PKI.

Tulisan-tulisannya yang terlihat melawan Orde Baru menyebabkan namanya seakan hilang dari catatan sejarah Indonesia dan baru muncul di tahun 1980-an ketika salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang cukup besar pada saat itu, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), menerbitkan catatan harian Soe Hok Gie dengan judul Catatan Seorang Demonstran (CSD) yang berisi pandangan dan dokumentasi kegiatan dirinya mulai dari SMP hingga bermetamorfosis menjadi seorang aktivis mahasiswa.

Sayangnya, seperti nasib buku-buku lain yang berada di luar mainstream pemerintahan Orde Baru, CSD pun seakan harus diperoleh dengan susah payah meskipun sudah beberapa kali mengalami cetak ulang hingga pertengahan tahun 1980an.

Usaha yang dirintis oleh LP3ES tidak berhenti sampai disitu, karena ada beberapa penerbit lain yang berupaya untuk mengingatkan lagi memori akan Soe Hok Gie melalui pembukuan hasil tulisannya. Mulai dari kumpulan artikelnya (Zaman Peralihan, oleh Bentang Budaya), skripsi sarjana muda (Di Bawah Lentera Merah), dan skripsi sarjana (Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan).

Ada pula buku karya John Maxwell, yang bukan berisi tentang tulisannya namun membahas dinamika perjalanan semasa Soe Hok Gie masih hidup, khususnya periode ketika dia menjadi aktivis, yang berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Dan ketika saat ini kita memperingati 40 tahun kematian Soe Hok Gie (dan 67 tahun kelahirannya), kita memperoleh referensi baru mengenai sosok Soe Hok Gie. Buku dengan judul Soe Hok-Gie…Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, adalah sebuah karya yang digagas oleh beberapa teman Soe Hok Gie semasa berkuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Buku ini berisi opini terhadap Soe Hok Gie dari berbagai pihak yang pernah bersentuhan dengan dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ada lima bagian dalam buku ini, masing-masingnya memiliki benang merah yang sedikit berbeda. Bagian kedua diisi dengan tulisan-tulisan dari kawan-kawan Soe Hok Gie, khususnya anggota Mapala FSUI yang turut serta dalam pendakian ke Gunung Semeru hingga dia menemui ajalnya. Bagian ini menceritakan berbagai pengalaman kawan-kawan Soe Hok Gie mulai dari persiapan menuju Gunung Semeru, hingga akhirnya tiba di sana, sekaligus beberapa tulisan penting mengenai kondisi Gunung Semeru itu sendiri dan mengenai Idhan Lubis (yang meninggal bersama Soe Hok Gie di Gunung Semeru) serta Freddy Lasut.

Bagian ketiga diisi dengan tulisan-tulisan dari kawan-kawan Soe Hok Gie yang bukan anggota Mapala UI, namun menjadi rekan sesama aktivis di era 1966. Bagian ini menuliskan bagaimana sesungguhnya kiprah Soe Hok Gie, baik itu di internal FSUI, internal UI, ataupun di gerakan 1966 secara umum.

Bagian keempat berisi opini dari orang-orang yang belum pernah mengenal Soe Hok Gie secara personal, namun telah mengetahuinya dari buku-buku yang telah terbit. Bagian ini menceritakan bagaimana tulisan-tulisan Soe Hok Gie, khususnya CSD, mempengaruhi berbagai macam individu, mulai dari sutradara, aktor, seniman, akademisi, hingga aktivis di tahun 1970an, 1980an dan 1990an. Sedangkan bagian terakhir berisi tulisan-tulisan Soe Hok Gie yang pernah dibuatnya, dan dipublikasikan di berbagai media massa.

Buku ini memiliki sedikit perbedaan jika dibandingkan dengan buku-buku “karya” Soe Hok Gie sebelumnya (saya memakai tanda kutip karena Soe Hok Gie sendiri tidak pernah menulis buku). Jika buku-buku sebelumnya selalu berisi mengenai opini Soe Hok Gie pada dunia dan lingkungan sekitarnya, buku ini justru berisi mengenai opini dari dunia dan lingkungan sekitarnya pada Soe Hok Gie.

Perbedaan ini membuat para pembaca akan mampu melihat Soe Hok Gie dari sisi lain. Ide ini merupakan sumbangan pemikiran dari kawan dekat Soe Hok Gie semasa kuliah, A. Dahana (saat ini telah menjadi guru besar di Fakultas Ilmu Budaya UI), yang berkata: “Sebaiknya kami tulis saja opini tentang Hok-gie, agar ada sisi lain yang baru buat pembacanya. Sebab dengan beredarnya buku catatan hariannya, skripsi sarjana, dan kompilasi artikel Soe, nama Hok-gie sudah terkenal. Bahkan tulisannya dan kisahnya, konon menjadi sumber inspirasi dan gerakan di zaman 1980-an, sampai tahun reformasi 1998-an.” (hlm. Xxxiii).

Hal itu pula yang membedakan buku ini dengan karya John Maxwell. Ketika John Maxwell menulis Soe Hok Gie sebagai seorang tokoh historis, dan dianalisa secara akademis, maka buku ini menceritakan sosok Soe Hok Gie sebagai seorang kawan, seorang guru dan dianalisa dengan lebih membumi karena didasarkan pada pengalaman pribadi.

Misalnya, A. Dahana menulis bahwa Soe Hok Gie adalah orang yang mengajarkan dirinya untuk menghadapi bacaan-bacaan yang bersifat propaganda (hlm. 235). Atau seperti yang dituliskan oleh Luki Sutrisno Bekti, bahwa Soe Hok Gie adalah sosok yang sering membantu kawan-kawannya, entah itu sekedar masalah percintaan, hingga tugas-tugas kuliah (hlm. 175-176).

Selain menyajikan sisi lain Soe Hok Gie, buku ini menyajikan foto-foto Soe Hok Gie yang tidak pernah ada di buku-buku sebelumnya. Sehingga para pembaca dapat memperoleh deskripsi atas Soe Hok Gie dengan lebih jelas dan otentik, ketimbang bersandar pada citraan yang telah dikonstruksikan dalam film GIE oleh aktor Nicholas Saputra (apalagi buku Catatan Seorang Demonstran pernah dicetak ulang dengan menggunakan poster film GIE sebagai sampulnya).

Perbedaan-perbedaan inilah yang menjadikan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi layak untuk dibaca dan melengkapi perbendaharaan referensi atas sosok Soe Hok Gie. Disamping itu, buku ini juga dapat mengubah stigma publik terhadap sosok Soe Hok Gie yang telah dikultuskan sebagai aktivis, sehingga terkesan sangat jauh dan tidak terjangkau oleh pembaca. Padahal sesungguhnya sosok Soe Hok Gie tak berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya, meski dirinya terkenal kritis dan tanpa tedeng aling-aling.

Contoh sosok Soe Hok Gie yang jauh dari stigma orang dapat dilihat dari cerita Rudy Badil yang menulis bahwa Soe Hok Gie pernah berkata: “Elo pipis di kantong plastik aja asal jangan keliatan Tides. Entar dia iri dan ikut-ikutan kencing dalam gerbong.” (hlm.5), bahkan menurut Rudy Badil lagi, Soe Hok Gie pun senang bergosip (hlm. 7).

Tetapi penyajian sisi lain inilah yang membuat saya tidak menyarankan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi dibaca sebagai perkenalan menuju dunia Soe Hok Gie, khususnya bagi para pembaca yang belum pernah mengonsumsi Catatan Seorang Demonstran, atau buku-buku Soe Hok Gie lainnya. Karena, menurut pendapat saya, buku ini lebih bersifat komplementer terhadap buku-buku Soe Hok Gie yang telah terbit sebelumnya.

Buku Catatan Seorang Demonstran masih merupakan karya yang paling baik untuk mengenal sosok Soe Hok Gie. Film GIE pun sudah cukup memberikan gambaran umum bagaimana dinamika kehidupan Soe Hok Gie semasa kecil hingga menjadi aktivis mahasiswa, meski banyak kekurangan disana-sini.

Meski demikian, buku ini wajib dibaca dan dimiliki para pembaca yang mengidolakan Soe Hok Gie, ataupun bagi mereka yang ingin mengenal sosok Soe Hok Gie. Tentunya dengan harapan agar Indonesia melahirkan lebih banyak lagi pemuda yang memiliki integritas dan kegigihan seperti Soe Hok Gie.

Soe Hok Gie (Harusnya) Berkali-kali

Soe Hok Gie (Harusnya) Berkali-kali

 tulisan Soe yang Dibukukan

“saya katakan bahwa kita bisa hancur karena tekanan tekanan hidup, tetapi kita tidak akan pernah terkalahkan.” (Soe Hok Gie: Dikutip dari ‘Catatan Seorang Demonstran’ Hal 426) Sebatang pohon oak, nicaya dapat bertahan ketika dihatam oleh topan maha dahsyat sekalipun, namun serumpun bambu akan oleng dan hilang keseimbangan meski hanya diterpa angin semilir. Soe Hok Gie, ikon gerakan Mahasiswa angkatan 66, telah menisbikan dirinya menjadi pohon oak itu. Kendati kesendirian, ancaman dan pengkhianatan dialamatkan padanya, ia tetap kukuh bertahan di atas rel perjuangan yang diyakininya benar. 

Masa masa sulit ditempuhnya penuh ketabahan hingga ia tutup usia di puncak gunung semeru setelah menghisap gas beracun. Sosoknya kemudian melenggenda, terutama dikalangan pemuda yang rindu akan munculnya ‘pemimpin ideal’ di tengah krisis keteladanan saat ini. Ternyata Dokter Curhat “Saya dilahirkan pada 17 Desember 1942 ketika perang sedang berkecamuk di Fasifik”, demikian ungkap Hok Gie dibagian awal buku hariannya. Sosok yang akrab dipanggil Cina kecil ini, adalah putra dari Soe Lie Piet, novelis sekaligus Wartawan Sunday Courrier dan Nio Hoei An, seorang ibu rumah tangga sederhana namun penuh dedikasi dalam membesarkan kelima anaknya (Dien, Mona, Arif, Gie dan Siane).

Semula Hok Gie kecil bersekolah Sin Hwa, sekolah Tionghoa berbahasa Inggris, kemudian pindah ke Sekolah Rakyat (SD saat ini) yang berlokasi di Gang Komandan, kini terletak dibelakang Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Menginjak SMP, ia bersama kakaknya Arif Budiman mendaftar ke Kanisius, namun hanya Arif yang diterima sementara Hok Gie tidak. Iapun memilih SMP Strada. Pergaulannya mulai luas karena ia dapat berbaur dengan dengan kawan-kawan yang datang dari beragam strata sosial dan ekomomi. Baru saat SMA ia kembali satu almamater dengan kakaknya di Kanisius. Begitupun ketika memasuki masa perkuliahan. Mereka berdua diterima di Universitas Indonesia. Bedanya Hok Gie masuk fakultas sastra jurusan sejarah sedang Arif memilih fakultas Psikologi. Berbeda dengan kebanyakan remaja baik pada zamannya ataupun masa kini, Soe Hok Gie telah ‘melek sosial’ sejak dini. Buku buku bermutu karya Mochtar lubis, George Orwell, Shakespeare dan lain lain telah memengaruhinya untuk menjadi pribadi humanis, jujur, berani mengabil risiko. Hal ini tercermin pada catatan hariannya. Saat diperlakukan tak adil oleh seorang Guru sewaktu SMP, Hok Gie menulis, 

“Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu. Ulangan ilmu bumi ku 8 tapi dikurangi 3 jadi 5. Aku iri dikelas karena merupakan orang ketiga terpandai dari ulangan tersebut. Aku percaya bahwa setidak-tidaknya aku yang terpandai dalam ilmu bumi dari seluruh kelas. Dendam yang disimpan, turun hati, lalu mengeras bagai batu. Kertasnya aku buang. Biar aku di hukum. Aku tak pernah jatuh dalam ulangan.” Atau ketika mengggugat kemapanan. Setelah memberikan uang pada seorang pemakan kulit mangga, ia menulis,“Aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah makan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah satu gejala yang mulai nampak di Ibu Kota. Dan kuberikan Rp 2.50 uangku. Uangku hanya 2.50 waktu itu. 

Ya dua kilo meter dari pemakan kulit, paduka kita mungkin lagi tertawa-tawa, maka-makan dengan istri-istrinya yang cantik…… aku bersama mu orang-orang malang” Aktifitas di Kampus Lulus dari Kanisius, Soe Hok Gie memasuki lingkungan kampus dengan semangat full. Ia bukan hanya dikenal sebagai kutu buku yang rajin menderas bacaan bacaan berat namun juga aktif berdiskusi, berorganisasi dan naik gunung, salah satu hobi yang paling digemarinya. Aktifitasnya tak lepas dari kegiatan kegiatan sosial. Orang yang belum pernah berjumpa atau membaca kisah hidupnya akan menganggap kalau Hok Gie yang terkenal karena tulisan-tulisan tajamnya itu, adalah sosok adalah sosok berbadan tegap dengan dengan tampilan muka garang. Namun tak demikian kenyataanya. Secara fisik ia berbadan kurus (lebih tepat kerenpeng) dan cara memunyai cara berjalan yang unik seperti dapat kita lihat dalam film GIE hingga dapat membuat kita tersenyum kecil. Secara sosial Di mata kawan kawan kuliahnya ia adalah pribadi menyenangkan, terbuka dan selalu siap membantu siapapun yang sedang mengalami masalah. Hal tersebut disampaikan oleh Kartini Sjahrir. Dalam suratnya pada Hok Gie, Ker (panggilan akrab Kartini Sjahrir) menulis, “saya ketemu kamu yang begitu lucu, imut imut, berantakan kalau berpakaian, suka naik gunung, suka diskusi, senang folk songs :Joan Baez, Nana Mouskori, suka membaca, suka organisasi-hal hal yang bagi saya terasa baru,aneh, ajaib tapi juga menyenangkan

.” Lain lagi dengan yang disampaikan Oleh Luki Bekti kawan satu kampus Gie. Ia berkata, “Di kampus Hok Gie bak Dokter yang buka praktek. Teman-teman harus membuat janji dulu jika ingin berbicara serius dengannya. Menurut saya hal itu terjadi karena Hok Gie adalah orang yang pandai mendengarkan dan menanggapi keluh kesah teman temannya. Menurut istilah sekarang, Hok Gie adalah teman curhat yang baik. Baik teman perempuan maupun pria, tak sungkan bercurhat dengannya.” Masih menurut Bekti, kesetiaan Hok Gie pada teman-teman ditunjukan dengan memberi perhatian tulus. Hok Gie pernah mengajak dirinya untuk menengok seorang teman perempuan yang mengalami stress berat di unit perawatan kejiwaan. Ia menengoknya bukan cuma sekali tapi beberapa kali dengan tak bosan memberi dukungan moral baginya. (Donna Donna Karya Joan Baez, salah satu lagu favorit Gie) Dari Pengkhianatan Hingga Semeru Masih di lingkungan kampus, Soe Hok Gie dikenal pula sebagai aktifis makasiswa yang kritis serta memiliki pandangan pandangan ideal untuk bangsannya. Kendati berasal dari keluarga minoritas Tionghoa, namun ia mendedikasikan diri sepenuhnya untuk kepentingan lebih besar, bangsanya tanpa memandang agama, suku dan warna kulit. Ilustasi Demontrasi mahasiswa Indonesia sekitar tahun 60-an, yang digalang Gie dan kawan-kawannya-Film Gie Seperti disampaikan oleh Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Utama, 
Soe Hok Gie menyikapi tiap persoalan secara ‘hitam putih’. Karena itu analisisnya menjadi tajam dan menusuk. Pada masa demokorasi terpimpin sebagai contoh, ia merasa gusar saat melihat bung Karno melenceng dari cita cita revolusi semula. Menurutnya pemerintahan sang proklamator bukan hanya tak bekerja dengan efisien tetapi juga termahsyur karena praktik korupsi dan dekadensi moral. Sementara rakyat sendiri hidup dalam kemelaratan, mengantri minyak dan kekurangan pangan. Hok Gie menulis, “kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. 

Lebih baik mahasiswa yang bergerak, maka lahirlah sang demontsran.” Sebagai seorang intelektual yang merasa terpanggil untuk melakukan perubahan, Soe Hok Gie memainkan dua peran ganda yakni sebagai man on the street sekaligus Man On the paper. Sebagai man on the street ia menjadi seorang demonstran yang aktif, hari harinya diisi dengan demo. Rapat penting disana sini dan membangun jaringan. Tahun 1966 ketika mahasiswa turun kejalan dengan mengusung isu Tritura, ia berada dibarisan paling depan. Konon ia pulalah yang menjadi salah satu tokoh kunci terjadinya alisansi anatara Mahaiswa dan ABRI 1966. Sedang sebagai man on the paper, ia menjadi seorang penulis yang goresan penanya amat tajam. Tulisan tulisan Hok Gie selalu blak blakan, telanjang, berani, jujur namun tidak membabi buta, karena berdasarkan pada daya analisis mendalam dan disertai oleh sentuhan kemanusiaan. Dalam artikel berjudul ‘Orang orang Indonesia Di Amerika’ sebagai contoh, ia menulis dengan sangat gamblang kebiasaan pembesar pembesar kita yang doyan ‘menunggang kuda putih’, dengan kata lain ‘tidur’ bersama perempuan bule saat melakukan dinas kenegaraan ke luar negri. Atau waktu menyinggung proyek Monumen Nasional ia berujar, “Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di puncaknya daripada membuat dan memperbaiki 1000 kilometer jalan raya.”