Kehidupan Banyuroto
Desa Banyuroto merupakan salah satu desa yang tidak jauh dari candi
Borobudur ini terletak di kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah. Desa yang berlokasi tepat di lereng Gunung Merbabu ini terdiri
dari Dusun Banyuroto, Kenayan, Garon, Suwanting, Sobleman, dan
Grintingan. Luas daerah ini sekitar 622.130 ha.
Mayoritas penduduk Banyuroto adalah petani sayuran hortikultura. Hal ini
terkait letak desa ini yang berada pada perbukitan. Sehingga masyarakat
memanfaatkannya untuk usaha perkebunan. Salah satu yang menjadi
potensinya yaitu adanya perkebunan buah strawberry yang dibudidayakan
masyarakat selain sayur-sayuran, seperti tomat, cabai, kol, bawang,
sawi, dan tembakau.
Selain perkebunan, sebagian penduduk juga berternak, seperti sapi,
kambing dan domba. Kegiatan berternak sangat dimungkinkan karena di
daerah ini terdapat banyak makanan untuk ternak. Salah satu yang mudah
didapat adalah rumput. Banyaknya rumput di sekitar rumah mereka
seringkali dimanfaatkan masyarakat sebagai pakan ternak. Oleh karena itu
desa ini juga dikenal sebagai desa rumput.
Kita akan melihat rumput-rumput di setiap wilayah desa Banyuroto.
Rumput-rumput di tempat ini ada yang liar dan ada juga sengaja ditanam.
Rumput-rumput tersebut digunakan sebagai pakan ternak mereka baik sapi
maupun kambing atau domba. Penduduk desa tersebut ternyata ikut
melestarikan pesan leluhur, dengan menanam rumput mereka berupaya
memelihara ternak untuk kebutuhan mereka. Tidak heran bila kita melihat
kehidupan desa ini di penuhi dengan rumput, diangkut dengan sepeda atau
dengan jalan kaki untuk mendaki lereng, dan menuruni lembah.
Rumput yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat Banyuroto adalah
Rumput gajah atau kolonjono. Rumput Gajah yang juga dinamai rumput
Napier atau rumput Uganda termasuk jenis rumput unggul. Biasanya
penduduk memberi makan ternak dengan rumput gajah yang berupa
potongan-potongan, artinya dipotong di kebun atau tempat tumbuhnya
rumput selanjutnya diberikan kepada ternak.
Pemanfaatan rumput tersebut sangat menguntungkan bagi masyarakat
Banyuroto karena terjadi siklus pemanfaatan. Mereka memanfaatkan rumput
untuk pakan ternaknya, kemudian kotoran ternak dimanfaatkan menjadi
pupuk kandang, yang nantinya pupuk tersebut dapat digunakan pada tanaman
perkebunannya.
Kesenian di Desa Banyuroto
Selain terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah, Desa Banyuroto
juga tidak lepas dari kesenian tradisionalnya. Kesenian tradisional ini
menjadi budaya yang harus tetap dilestarikan. Beberapa kesenian yang ada
di desa Banuroto ini antara lain Jatilan, Karawitan, Topeng Ireng,
Soreng, dll.
JATILAN
KARAWITAN
Puluhan warga Desa Banyuroto Kecamatan Nanggulan Kulonprogo melakukan aksi blokade jalan masuk ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di Depan Balai Desa Banyuroto
Puluhan warga Desa Banyuroto Kecamatan Nanggulan Kulonprogo memblokade jalan masuk ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di Depan Balai Desa Banyuroto, Massa yang menamakan diri Serikat Masyarakat Banyuroto Peduli (Semar bali) ini menuntut penutupan TPA tersebut.
Sebelumnya, massa melakukan long march dari Dusun Tawang yang berjarak 500 meter. Massa yang berjalan kaki dan menggunakan sepeda motor serta mobil, mengusung tulisan yang berisi berbagai kecaman atas keberadaan TPA.
Sampai di depan balai desa yang merupakan jalur masuk menuju TPA, mereka menggelar orasi. Hujan yang turun di wilayah itu, tidak menyurutkan semangat warga untuk berorasi. Koordinator Semar Bali, Kawit Mujiono mengungkapkan aksi tersebut dilatar belakangi keberadaan TPA yang telah lebih dari lima tahun, namun hanya memberikan dampak negatif. Ia menyebutkan di antaranya TPA mengganggu kenyamanan karena lokasi yang berdekatan dengan balai desa, puskesmas pembantu, SD, TK dan calon pasar desa. “TPA menimbulkan bau yang tidak sedap,” katanya.
Dampak lain adanya TPA yakni menimbulkan bau tidak sedap, kerusakan jalan akibat dilalui truk sampah, mata air dan sumur tercemar dan lainnya.
Atas dasar itu, menurutnya warga menuntut TPA tersebut ditutup. “Kami ingin TPA Banyuroto ditutup dan dialihkan ke daerah lain,” tegasnya.
Pemerintahan Desa Banyuroto konon kabarnya dimulai sekitar tahun 1860-an.
Bila legenda ini tepat, maka pemerintahan Desa Banyuroto diawali pada
masa perjuangan Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan Hindia Belanda.
Pada masa itu, yang memimpin Desa Banyuroto (Cebongan) adalah H. Ibrohim,
seorang yang sangat terkenal sampai ke wilayah luar Salatiga. Ia adalah
sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya, sebab jika ada rakyatnya yang
mendapat gangguan keamanan berbahaya dari manapun datangnya, maka H.
Ibrohimlah yang akan membelanya. Masyarakat Banyoroto telah mengetahui,
dirinya memang sakti dan mereka menganggapnya sebagai pendekar yang
mempunyai kekuatan luar biasa.
Ilmu
keampuhan yang dimilikinya tentunya dengan latihan yang amat berat dan
pendalaman ilmu-ilmu agama dengan pengamalan doa-doa dan wirid-wirid dan
juga selalu bertirakat dengan berpuasa. Pepatah mengatakan “puncak
gunung itu tidak akan datang di hadapan kita manakala kitalah yang harus
menadaki“. Suatu ketika, Keraton Surokarto dimasuki beberapa garong
yang merampok barang-barang berharga. Maka Ratu di Keraton Surakarto
mengeluarkan sayembara umum, yang berbunyi: “Barangsiapa yang bisa
menangkap para penjahat yang memasuki Keraton Surokarto akan diberi
hadiah yang sangat besar, yaitu emas picis rojo brono
(benda pusaka berharga) atau wanita molek dari Keraton.” Setelah
mendengar sayembara itu, H. Ibrohim bersegera datang ke Keraton
Surakarta dan berusaha dengan sedapat-dapatnya akhirnya para penjahat
tersebut dapat ditaklukkan H. Ibrohim.
Selanjutnya
H. Ibrohim disuruh memilih salah satu diantara dua macam hadiah yang
ditawarkan. Akan tetapi, H. Ibrohim menepis keduanya, sebab alasannya
kedua hadiah itu untuk kepentingan pribadi saja dan mudah dihempas
waktu. Namun, H. Ibrohim mempunyai satu permintaan kepada Keraton
Surokarto yaitu agar mengalirkan air dari tuk Senjaya Desa Bener ke
Dusun Isep-Isep yang saat itu merupakan bagian dari Desa Banyuroto. Lalu
pihak Keraton mengabulkan permintaannya.
Kegotongroyongan
masyarakat Desa Bener, Desa Tingkir dan Desa Banyuroto diberdayakan
untuk mengadakan kerja bakti membuat selokan dari arah Senjaya bagian
paling atas, agar airnya dapat mengalir sampai ke Dusun Isep-Isep.
Menurut cerita, tanggul selokan pada waktu itu dapat dilalui kereta
ketika Ratu dari Keraton Surokarto meninjau hasil pembuatan selokan.
Saluran air yang dimaksud oleh masyarakat Tingkir dinamakan Kali Buket,
sedang masyarakat Banyuroto menamakannya Selokan.
Lalu
tentang pergantian nama Banyuroto menjadi Cebongan, memang terjadi
sejak lurah pertama (H. Ibrohim). Alasannya? Karena kondisi Banyuroto
saat itu dikelilingi sungai-sungai yang dalam. Seperti, bagian arah dari
barat terdapat sungai Gandu, dari arah timur ada sungai Kedung Kere.
Sungai-sungai tersebut tempo dulu telah dilengkapi jembatan yang terbuat
dari kayu atau bambu. Lalu lambat laun jembatan itu retak, sehingga
warga masyarakat dari lain daerah yang ingin ke Banyuroto harus
menyebrangi sungai Gandu atau Kedung Kere, karena jembatannya sudah
tidak berfungsi.
Menjelang
musim kemarau, airnya akan surut, lalu akan terlihat betapa dalam
kubangan yang ada. Kemudian di kubangan-kubangan air itulah digunakan
untuk sarang katak yang bertekur dan akhirnya menetas dan jadilah
“cebong” yang amat banyak. Karena banyaknya cebong yang mengelilingi
Banyuroto, maka H. Ibrohim menggantinya menjadi Desa Cebongan.
Desa Banyuroto yang aslinya hanya memiliki tiga wilayah dusun, yaitu
Banyuroto (Cebongan), Isep-Isep dan Jagalan. Lalu pada masa pemerintahan
Lurah Gunadi, muncullah nama-nama dusun yang baru, yaitu Sukosari, Sidoharjo dan Sukoharjo.
Sebelum masuk wilayah Kota Salatiga, dulu wilayah Desa Cebongan berada di wilayah Pemerintahan Kabupaten Semarang. Berdasarkan PP Republik Indonesia no 69 tahun 1992 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga dan Kabupaten Daerah tingkat II Semarang,
wilayah Desa Cebongan masuk ke dalam Pemerintahan Kotamadya Salatiga
(pemekaran th 1992). Lalu Desa Cebongan beralih status lagi menjadi
Pemerintah Kelurahan Cebongan yang saat itu dibawah kekuasaan Drs. Sururi berdasarkan Peraturan Daerah Kota Salatiga no 11 tahun 2003 tentang Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan.
Sumber: GERTAK LSM, Agustus 2004