Pulau Kaniungan, Berau
Secara administratif, Pulau Kaniungan berada di RT 3, Kampung Teluk Sumbang, Biduk-Biduk, Berau. Dan secara geografis terletak pada titik 118 derajat, 50’ dan 70” BT, dan 1 derajat 7’ dan 1” LU.
Tak mudah untuk menjangkaunya. Karena itu pula, pulau yang sebenarnya terbagi jadi dua, Kaniungan Besar dan Kecil itu, masih terjaga keasriannya. Tak banyak sentuhan tangan manusia yang telah menjamahnya. Ikan-ikan buruan nelayan juga mudah ditemukan. Itu sebab perairan sekitar Kaniungan selalu ramai para pengadu nasib di tengah laut.
Di pinggir laut, padang lanun yang terhampar di perairan dangkal, menjadikan habitat penyu dengan mudah ditemui. Dua pulau itu juga jadi tempat hewan dengan tempurung tebal itu bertelur. Aktivitas manusia yang masih terbilang minim di tempat indah tersebut, menjadikan hewan yang jadi simbol Berau itu tetap lestari.
“Pada bulan tujuh atau delapan (Juli-Agustus, Red) banyak penyu yang ke darat. Semalam bisa sampai lima puluh ekor. Baik di Kaniungan Besar atau Kecil, sama-sama ramainya,” tutur Abdul Jalil, Ketua RT 3 Teluk Sumbang kepada Berau Post.
Pesona dua daratan Kaniungan bagi habitat penyu melakukan reproduksi, memang tak hanya pada dua bulan yang biasa disebut Musim Selatan itu. Hanya saja intensitas penyu bertelur semakin kecil pada bulan-bulan lainnya.
Kaniungan, sejauh ini memang belum memberikan daya tarik lebih besar selain bagi para penyu bertelur. Namun, dari sejarah yang dituturkan Abdul Jalil, pulau yang punya luas 55,4 hektare itu, setelah diukur oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Gajah Mada Jogjakarta, Agustus 2015 lalu, sebenarnya sudah mulai ditinggali sejak tahun 1730. Dan, Pulau Kaniungan Kecil, sampai saat ini tak ada manusia yang meninggalinya. “Karena di sana tak ada sumber air tawar,” ungkapnya.
Abdul Jalil bisa memberikan angka pasti soal tahun Kaniungan mulai didiami manusia adalah arsip yang tertulis dalam aksara Lontara yang tersimpan di Keraton Sambaliung, Berau. Pak RT, begitu Abdul Jalil biasa disapa, meyakinkan bahwa Suku Bugis adalah pendatang pertama yang mendiami pulau tersebut.
Bukti sejarah Pulau Kaniungan Besar pernah jadi “perlindungan” pelaut yang ingin mendarat adalah komplek kuburan yang berada di tengah-tengah pulau. Ada beberapa nisan, yang terbuat dari kayu dan batu, dan saat ini kondisinya sangat memprihatinkan karena minimnya perawatan.
Bahkan, sebagian besar nisan dari kayu ulin yang tertancap di atas pusara, hampir ludes jadi abu, imbas kebakaran lahan beberapa tahun lalu. Dari persebaran nisannya, tampak jika itu adalah areal kuburan yang dulunya tertata rapi. Dengan satu kuburan di bagian tengah, dan dikelilingi kuburan-kuburan lain yang membentuk satu formasi tertentu.
Perlu penggalian sejarah lebih lanjut untuk menentukan kepastian informasi tentang areal makam tersebut. Dari sisa-sisa nisan yang terbakar, masih jelas terlihat aksara Lontara yang jadi penanda dan identitas tentang jasad yang dikubur di lokasi itu. “Yang saya tahu, kalau nisan bentuknya bulat itu berarti yang dikubur laki-laki, dan kalau nisan yang datar, itu berarti perempuan,” lanjut Abdul Jalil.
Umur yang sudah sepuh bagi Pulau Kaniungan sejak didiami manusia, ternyata tak sebanding dengan penambahan jumlah penduduknya. Dari data yang dipegang Abdul Jalil, saat ini hanya ada 18 kepala keluarga, dengan jumlah jiwa hanya mencapai 52. “Kalau dilihat dari jenis pekerjaan, pemegang KTP semuanya bekerja sebagai nelayan,” ungkap pria kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah itu.
Keberadaan Pulau Kaniungan ternyata juga diakui Junaedi, salah seorang yang ikut dalam rombongan pelayaran lalu itu. Pria yang tumbuh besar dan tinggal di Biduk-Biduk itu, menganggap bahwa moyangnya juga berasal dari Kaniungan. “Dari cerita orangtua, dulu nenek-kakek kami tinggal di Kaniungan. Lama kelamaan mereka pindah ke darat (Biduk-Biduk),” ujarnya.
Nama dua pulau itu sendiri berasal dari nama tumbuhan dan buah yang punya nama sama; Kaniungan. Dulunya, pulau tersebut, selain dipenuhi pohon kelapa, juga banyak ditemukan pohon buah Kaniungan. Saat berkeliling pulau tersebut, Abdul Jalil menunjukkan bagaimana rupa tumbuhan yang ternyata hanya tersisa satu pokok. Dari bentuk batangnya, hampir mirip batang jambu biji. Diameter tak lebih dari 10 cm. Daunnya mirip daun jeruk, juga dengan aroma khas buah berair dan berasa masam tersebut.
“Ya, buahnya mirip jeruk. Tapi paling besarnya cuma sejempol tangan. Sayang, ini bukan lagi musimnya berbuah,” ungkap Pak RT. “Ini tinggal satu batang. Semoga yang punya lahan mau menjaga pohon ini, karena ini benar-benar sejarah yang harus dilestarikan.
Abdul Jalil itu om saya(paman saya)
BalasHapusNama saya abdullah anak dari kakak abdul jalil :Abdullah,sulawesi tengah desa pangalasiang