Soe Hok-gie Dimata Saya
“Nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow”
-Tulisan di nisan Soe Hok-Gie-
Mengenang
peristiwa kejatuhan Sukarno yang bermula pada peristiwa 1 Oktober
(penculikan dan pembunuhan 7 jendral AD) hingga sidang istimewa MPRS
tahun 1967 yang menolak pidato pelengkap Nawaksara (Pidato pembelaan
Sukarno), khsusnya peran mahasiswa di dalamnya, tentu kita tidak bisa
melepaskan satu nama yang menjadi aktor penggeraknya, Soe Hok-gie. Gie,
sebagai mahasiswa Fakultas Sastra yang bermarkas di kampus Rawamangun,
menyadari betul pegolakan politik yang terjadi kala itu. Pada akhirnya,
ketika situasi memang betul-betul memanggilnya untuk bergerak, maka Gie
pun akhirnya bergerak, meskipun dia mengakui bahwa politik adalah
'lumpur yang kotor'.
Gie,
yang memang sudah sadar akan politik kala masih remaja, semakin sadar
bahwa generasinya adalah generasi penerus bangsa yang telah semakin
bobrok oleh demokrasi terpimpinnya Sukarno. Kala memasuki jenjang
kuliah, hasrat untuk mengubah tatanan kehidupan berbangsa semakin besar
dan akhirnya menemukan momentum dengan peristiwa 1 Oktober. Meskipun,
sebagai mahasiswa jurusan sejarah tidak jelas pula pendirian Gie tentang
peristiwa itu, apalagi ia mendapati bahwa ada dua penjelasan
bersebrangan tentang percobaan kudeta ini, yaitu dari Nugroho
Notosusanto sebagai pembimbingnya dan Benedict Anderson, rekan yang
telah cukup lama dikenalnya.
Namun
satu hal yang Gie yakini tentang peristiwa ini adalah pertanggung
jawaban Sukarno sebagai presiden dengan politik Nasakomnya. Memang,
sebelumnya, sasaran dari gerakan mahasiswa kala itu bukanlah pada
pribadi Sukarno langsung melainkan para pembantu dan orang di
sekelilingnya seperti Aidit dan Subandrio. Namun seiring berbagai fakta
yang bermunculan, seperti ke-keraskepala-an Sukarno yang tidak juga
membubarkan PKI dan harga barang yang tak kunjung turun, membuat sasaran
kemarahan mahasiswa tertuju pada sosok itu. Juga fakta kotor yang
terjadi di dalam Istana negara (Gie sedikitnya 3 kali bertemu Sukarno di
Istana Negara) semakin membuat Gie sadar bahwa rezim Sukarno harus
segera diakhiri.
Mahasiswa
akhirnya membentuk KAMI (kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai
front perjuangan seluruh mahasiswa melawan rezim Sukarno dengan membawa
tuntutan yang dikenal dengan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yaitu:
Bubarkan PKI, bersihkan kabinet dari unsur PKI, dan turunkan harga.
Latar belakang KAMI dan Tritura sendiri tidak lepas dari campur tangan
Gie sebagai mahasiwa idealis yang telah dikenal banyak mahasiswa lainnya
karena memang dekat secara personal maupun dari berbagai tulisan Gie di
media massa. Walaupun demikian, sosok Gie tidaklah menjabat secara
struktural dalam organisasi KAMI ini, baik itu KAMI Pusat, KAMI Jaya,
maupun KAMI UI. Karena memang dalam perjalanan hidupnya, gie tidak
pernah suka masuk organisasi massa yang besar, apalagi masuk organisasi
ekstra kampus seperti HMI atau GMNI. Bagi Gie, independensi adalah hal
yang amat berharga, maka itu dia lebih suka bekerja dengan kelompok
kecil yang memiliki kedekatan secara emosional dan kultural.
Aliansi
mahasiswa dengan tentara menemukan momentum pada 11 Maret dengan
dikeluarkannya surat perintah (Supersemar) dari Sukarno ke Suharto.
Berbekal surat perintah ini, Suharto membubarkan PKI. Kekuasaan Sukarno
semakin di ujung tanduk dan semakin dieliminir oleh intrik politik
tingkat tinggi dan gerakan mahasiswa di jalan-jalan Ibukota yang semakin
intens semenjak bulan Januari 1966. Sukarno akhirnya tumbang meskipun
tidak melalui Mahmilub (makhamah militier luar biasa), dan akhirnya
naiklah Suharto sebagai pengemban Supersemar ke kursi kepresidenan.
Pasca
orde lama, banyak yang meyakini eksistensi KAMI (terutama para pimpinan
strukturalnya) harus tetap diperjuangkan. Perjuangan di sini diyakini
para pimpinan KAMI sebagai perjuangan yang harus pindah dunia, dari
dunia jalanan ke dunia politik sesungguhnya (Eksekutif, Legislatif,
Yudikatif). Hal ini terrealisasi dengan naiknya beberapa pimpinan KAMI
menjadi anggota perwakilan mahasiswa di DPR-GR (diantaranya Cosmas
Batubara, pimpinan KAMI pusat). Gie, yang meyakini bahwa gerakan
mahasiswa sebagai gerakan politik kala itu hanyalah gerakan sementara,
sebagai efek dari konstelasi perpolitikan nasional, tentunya sangat
menentang keputusan teman-temannya tersebut. Gie beralasan bahwa gerakan
mahasiswa harus dihentikan dan kembali ke bangku kuliah, urusan politik
kemudian diserahkan pada para politikus senior.
Idealisme
Gie nyatanya tidak luntur dengan jatuhnya rezim Orla ke rezim Orba.
Setelah mengkritik rekan-rekannya yang menjadi pejabat di DPR-GR (dan
pernah memberi hadiah gincu dan kaca untuk mereka), Gie amat concern
dengan pembantaian yang dilakukan tentara atas nama pembersihan unsur
PKI. Gie menyebut ada sekitar 300.000 orang yang dibantai dalam kurun
waktu 1965-1967, yang artinya akan menurunkan sekitar satu juta manusia
-merupakan keluarga korban pembantaian- yang menaruh dendam pada
tentara. Selain itu, Gie juga melihat kecenderungan bahwa pola Orla
terulang kembali di masa Orba seperti korupsi dilingkaran Istana dan
unsur Totaliterisme dengan pembredelan pers.
Di
tengah ke-idealisme-annya, yang dia sendiri berkata akan menjadi
seorang idealis sejauh mugkin, nyatanya Gie juga manusia biasa yang
memiliki berbagai rasa di hatinya. Hubungannya dengan tiga orang wanita
yang selalu kandas dengan alasan yang hampir sama (karena orang tua
wanita tidak setuju) ternyata membuat Gie menjadi murung. Selain itu,
jarak yang dia rasakan diantara temannya serasa smakin jauh. Gie
menjelang akhir hidupnya adalah seorang lelaki penyendiri dengan
persoalan yang coba ia hadapi sendiri, meskipun sebetulnya dia masih
memiliki teman dekat seperti Herman Lantang.
Persoalan-persoalan
yang dihadapi Gie nampaknya menjadikan alasan dia untuk senang
menyendiri memaknai arti kehidupan sesungguhnya. Gie memang seorang yang
cinta dengan alam, seorang yang suka menaklukan gunung-gunung tinggi,
bahkan dia adalah salah satu pendiri Mapala (organisasi pencinta alam
yang tentu saja terbebas dari ideologi politik apapun). Namun, bagi
saya, kesukaan ini bukanlah sekadar kesukaan yang tanpa alasan, mungkin
saja dengan berbagai masalah yang dia hadapi, dia merasa nyaman dan
damai ketika dekat dengan alam dan 'menyatu' dengannya. Bagi saya, ini
adalah sesuatu yang terlihat (agak) pengecut, bukankah seorang lelaki
sejati adalah lelaki yang berani menghadapi persoalan, bukan malah lari
menyendiri ke atas gunung?
Terlepas
dari semua itu, Gie adalah sosok yang patut dijadikan panutan para
pemuda, khusunya mahasiswa zaman sekarang. Sebuah contoh yang patut
dijadikan pedoman bagaimanakah seharusnya pemuda mengambil peran dan
menempatkan diri di dunia, khususnya di Indonesia seperti sekarang
dimana berbagai persoalan bangsa telah semakin sulit untuk dimengerti, apalagi dipecahkan.
0 comments: