Pembunuhan Besar-Besaran di Bali : Soe Hok Gie

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ-usbQhbasYn2mUbCoo8OhPvd1Yu_zxYwe2i14RiGn8zkJVx6aKsHnApZbUK1Q6XboQvgJzp4cMM9wrhIwP2wA8CLeDXGVOkIG24-C_lWy7fOXKKWFUW0eCBtYuBp4GKMVJhSWzxTYz4/s320/mayat+gie.jpg

Soe Hok Gie Tentang Pembunuhan Besar-Besaran di Bali

Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali
(Membaca Tulisan Soe Hok Gie)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyH0cE8vNsV2YWAbwbetM0TNxNiJ3_Vi9ZQCaQKU6WmrJV38jxhZ9ouzWFGnFCek0gUYkgiRZunFHnoRdEXnKq7ikY_LKhpo5Om_3jpGgZAgYPHl4UYP97U_CUa-csQSm4xQh2xrCaN30/s1600/yang-bertanah-air-tak-bertanah.jpg
Soe Hok Gie mengawali tulisannya ini dengan sangat berhati-hati, karena pada saat itu setiap orang dapat saja dituduh dan kemudian diciduk karena disebut “Gestapu” atau “PKI”.
“Dengan mengemukakan hal berikut ini,penulis sama sekali bukan berarti membela daripada Gestapu/PKI atau pun dapat membenarkan cara-cara mereka dalam menghabisi lawan-lawannya. Dari sudut moral pelakuan mereka yang demikian kejam dan biadab terhadap lawan-lawannya haruslah kita lawan dan kita kutuk, tetapi tidak sekaku dan sebiadab mereka pula.”[1]

Ada sebuah situasi yang sebenarnya aneh jika gerakan pengganyangan PKI adalah bentuk pergerakan politik semata. Sebab Pulau Bali dari sudut strategis kepentingan politik, militer, dan ekonomi bukanlah merupakan kekuatan yang menentukan kalah menangnya perebutan kekuasaan di Indonesia. Akan tetapi di akhir tahun 1965
dan disekitar permulaan tahun 1966, di pulau yang indah ini telah terjadi suatu malapetaka mengerikan. Penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya dalam zaman modern ini, baik dari waktu yang begitu singkat, maupun dari jumlah mereka yang disembelih.[2]

Peperangan? Sama sekali tidak ada tanda-tanda yang demikian. Di Bali sama sekali tidak ada perlawanan yang berarti. Mereka yang merasa dirinya PKI atau yang oleh lingkungannya dituduh demikian, dengan sukarela menyerahkan dirinya. Dan ketika pembunuhan-pembunuhan itu dilangsungkan, tidak jarang dan malah banyak sekali dari mereka yang menjadi tawanan minta untuk dibunuh. Mereka yang ingin dibunuh berbuat demikian karena takut menghadapi siksaan atau cara-cara pembunuhan yang tidak masuk akal di kalangan manusia waras atau manusia yang menyebut dirinya ber-Tuhan.[3]

Soe Hok Gie menekankan pada pemimpin-pemimpin yang dahulu paling Nasakom, kemudian berubah menjadi pembenci-pembenci PKI paling gigih dan paling demonstratif. Pasukan-pasukan partikelir mulai berkeliaran yang terkenal dengan seragam hitamnya, dengan persenjataan-persenjataan. Pembakaran-pembakaran rumah mereka yang dituduh PKI dianjurkan sebagai Warming Up untuk tujuan-tujuan berikutnya yang lebih bengis. Dan akhirnya pembunuhan itu sendiri berlangsung dimana-mana.[4]

Akibat-akibat pembunuhan yang demikian tentulah luar biasa dan tidak akan dirasakan oleh generasi sekarang saja. Tetapi yang paling menarik perhatian ialah, berhasilkan PKI di Bali dilikuidasi dengan cara yang demikian? Efektifkah tindakan-tindakan itu? Rasa-rasanya tidak dan pasti tidak, melihat siapa-siapa mereka yang lolos dari kapak berantai itu. Kompyang, Sutedja serta yang menjadi anggota dewan revolusi Bali masih berkeliaran dengan bebasnya.[5]

Pembunuhan sama sekali tidak “kena” karena korbannya kebanyakan rakyat yang tertipu oleh janji-janji PKI atau hukumannya tidak setimpal dengan apa yang pernah mereka lakukan. Motif iri hati dan balas dendam menonjol sangat kuat. Anak Agung, misalnya. Kepala Jawatan Penerangan Bali ini diculik dan dihabisi padahal biang keladinya ialah wakilnya yang ingin menduduki tempatnya.[6] Lie Lie Tjien seorang pengusaha kaya raya di Bali Utara yang terang-terangan menjadi kasir PKI di Bali justru selamat. Dia dapat merangkul Widjana yang menjadi tokoh di daerah. Sedangkan saingan-saingan Lie Lie Tjien di dalam dunia usaha, misalnya Tjan Wie menjadi korban. Kopi milik Tjan Wie yang jumlahnya ratusan ton berserakan memenuhi jalanan Singaraja.[7]
Pembunuhan yang terjadi di Bali bukanlah sportarifett tetapi peristiwa yang dibiarkan berlarut-larut. [8]Andaikan pemerintah atau pejabat pada waktu itu dengan jiwa yang murni dan dengan kesungguhan hati menyetopnya, hal yang demikian tidak akan terjadi. Pejabat-pejabat sama sekali tidak berbuat apa-apa dan pada beberapa tempat malah menganjurkan pembunuhan-pembunuhan ini.


Sumber:

[1] Soe Hok Gie, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan, hlm 191.
[2] Soe Hok Gie, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan, hlm 191.
[3] Soe Hok Gie, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan, hlm 192.
[4] Soe Hok Gie, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan, hlm 196.
[5] Soe Hok Gie, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan, hlm 197.
[6] Soe Hok Gie, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan, hlm 198.
[7] Soe Hok Gie, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan, hlm 198.
[8] Soe Hok Gie, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan, hlm 198.

Dalam Buku :
http://d.gr-assets.com/books/1248589093l/1772836.jpg
Soe Hok Gie, Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali. Zaman Peralihan

Soe Hok-gie Dimata Saya



“Nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow”
-Tulisan di nisan Soe Hok-Gie-
 http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/631275/big/hok-gie-140129c.jpg


OPAD organisasi pencinta alam depok
Mengenang peristiwa kejatuhan Sukarno yang bermula pada peristiwa 1 Oktober (penculikan dan pembunuhan 7 jendral AD) hingga sidang istimewa MPRS tahun 1967 yang menolak pidato pelengkap Nawaksara (Pidato pembelaan Sukarno), khsusnya peran mahasiswa di dalamnya, tentu kita tidak bisa melepaskan satu nama yang menjadi aktor penggeraknya, Soe Hok-gie. Gie, sebagai mahasiswa Fakultas Sastra yang bermarkas di kampus Rawamangun, menyadari betul pegolakan politik yang terjadi kala itu. Pada akhirnya, ketika situasi memang betul-betul memanggilnya untuk bergerak, maka Gie pun akhirnya bergerak, meskipun dia mengakui bahwa politik adalah 'lumpur yang kotor'.


Gie, yang memang sudah sadar akan politik kala masih remaja, semakin sadar bahwa generasinya adalah generasi penerus bangsa yang telah semakin bobrok oleh demokrasi terpimpinnya Sukarno. Kala memasuki jenjang kuliah, hasrat untuk mengubah tatanan kehidupan berbangsa semakin besar dan akhirnya menemukan momentum dengan peristiwa 1 Oktober. Meskipun, sebagai mahasiswa jurusan sejarah tidak jelas pula pendirian Gie tentang peristiwa itu, apalagi ia mendapati bahwa ada dua penjelasan bersebrangan tentang percobaan kudeta ini, yaitu dari Nugroho Notosusanto sebagai pembimbingnya dan Benedict Anderson, rekan yang telah cukup lama dikenalnya.

Namun satu hal yang Gie yakini tentang peristiwa ini adalah pertanggung jawaban Sukarno sebagai presiden dengan politik Nasakomnya. Memang, sebelumnya, sasaran dari gerakan mahasiswa kala itu bukanlah pada pribadi Sukarno langsung melainkan para pembantu dan orang di sekelilingnya seperti Aidit dan Subandrio. Namun seiring berbagai fakta yang bermunculan, seperti ke-keraskepala-an Sukarno yang tidak juga membubarkan PKI dan harga barang yang tak kunjung turun, membuat sasaran kemarahan mahasiswa tertuju pada sosok itu. Juga fakta kotor yang terjadi di dalam Istana negara (Gie sedikitnya 3 kali bertemu Sukarno di Istana Negara) semakin membuat Gie sadar bahwa rezim Sukarno harus segera diakhiri.

Mahasiswa akhirnya membentuk KAMI (kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai front perjuangan seluruh mahasiswa melawan rezim Sukarno dengan membawa tuntutan yang dikenal dengan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yaitu: Bubarkan PKI, bersihkan kabinet dari unsur PKI, dan turunkan harga. Latar belakang KAMI dan Tritura sendiri tidak lepas dari campur tangan Gie sebagai mahasiwa idealis yang telah dikenal banyak mahasiswa lainnya karena memang dekat secara personal maupun dari berbagai tulisan Gie di media massa. Walaupun demikian, sosok Gie tidaklah menjabat secara struktural dalam organisasi KAMI ini, baik itu KAMI Pusat, KAMI Jaya, maupun KAMI UI. Karena memang dalam perjalanan hidupnya, gie tidak pernah suka masuk organisasi massa yang besar, apalagi masuk organisasi ekstra kampus seperti HMI atau GMNI. Bagi Gie, independensi adalah hal yang amat berharga, maka itu dia lebih suka bekerja dengan kelompok kecil yang memiliki kedekatan secara emosional dan kultural.

Aliansi mahasiswa dengan tentara menemukan momentum pada 11 Maret dengan dikeluarkannya surat perintah (Supersemar) dari Sukarno ke Suharto. Berbekal surat perintah ini, Suharto membubarkan PKI. Kekuasaan Sukarno semakin di ujung tanduk dan semakin dieliminir oleh intrik politik tingkat tinggi dan gerakan mahasiswa di jalan-jalan Ibukota yang semakin intens semenjak bulan Januari 1966. Sukarno akhirnya tumbang meskipun tidak melalui Mahmilub (makhamah militier luar biasa), dan akhirnya naiklah Suharto sebagai pengemban Supersemar ke kursi kepresidenan.

Pasca orde lama, banyak yang meyakini eksistensi KAMI (terutama para pimpinan strukturalnya) harus tetap diperjuangkan. Perjuangan di sini diyakini para pimpinan KAMI sebagai perjuangan yang harus pindah dunia, dari dunia jalanan ke dunia politik sesungguhnya (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif). Hal ini terrealisasi dengan naiknya beberapa pimpinan KAMI menjadi anggota perwakilan mahasiswa di DPR-GR (diantaranya Cosmas Batubara, pimpinan KAMI pusat). Gie, yang meyakini bahwa gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik kala itu hanyalah gerakan sementara, sebagai efek dari konstelasi perpolitikan nasional, tentunya sangat menentang keputusan teman-temannya tersebut. Gie beralasan bahwa gerakan mahasiswa harus dihentikan dan kembali ke bangku kuliah, urusan politik kemudian diserahkan pada para politikus senior.

Idealisme Gie nyatanya tidak luntur dengan jatuhnya rezim Orla ke rezim Orba. Setelah mengkritik rekan-rekannya yang menjadi pejabat di DPR-GR (dan pernah memberi  hadiah gincu dan kaca untuk mereka), Gie amat concern dengan pembantaian yang dilakukan tentara atas nama pembersihan unsur PKI. Gie menyebut ada sekitar 300.000 orang yang dibantai dalam kurun waktu 1965-1967, yang artinya akan menurunkan sekitar satu juta manusia -merupakan keluarga korban pembantaian- yang menaruh dendam pada tentara. Selain itu, Gie juga melihat kecenderungan bahwa pola Orla terulang kembali di masa Orba seperti korupsi dilingkaran Istana dan unsur Totaliterisme dengan pembredelan pers.

Di tengah ke-idealisme-annya, yang dia sendiri berkata akan menjadi seorang idealis sejauh mugkin, nyatanya Gie juga manusia biasa yang memiliki berbagai rasa di hatinya. Hubungannya dengan tiga orang wanita yang selalu kandas dengan alasan yang hampir sama (karena orang tua wanita tidak setuju) ternyata membuat Gie menjadi murung. Selain itu, jarak yang dia rasakan diantara temannya serasa smakin jauh. Gie menjelang akhir hidupnya adalah seorang lelaki penyendiri dengan persoalan yang coba ia hadapi sendiri, meskipun sebetulnya dia masih memiliki teman dekat seperti Herman Lantang.

Persoalan-persoalan yang dihadapi Gie nampaknya menjadikan alasan dia untuk senang menyendiri memaknai arti kehidupan sesungguhnya. Gie memang seorang yang cinta dengan alam, seorang yang suka menaklukan gunung-gunung tinggi, bahkan dia adalah salah satu pendiri Mapala (organisasi pencinta alam yang tentu saja terbebas dari ideologi politik apapun). Namun, bagi saya, kesukaan ini bukanlah sekadar kesukaan yang tanpa alasan, mungkin saja dengan berbagai masalah yang dia hadapi, dia merasa nyaman dan damai ketika dekat dengan alam dan 'menyatu' dengannya. Bagi saya, ini adalah sesuatu yang terlihat (agak) pengecut, bukankah seorang lelaki sejati adalah lelaki yang berani menghadapi persoalan, bukan malah lari menyendiri ke atas gunung?

Terlepas dari semua itu, Gie adalah sosok yang patut dijadikan panutan para pemuda, khusunya mahasiswa zaman sekarang. Sebuah contoh yang patut dijadikan pedoman bagaimanakah seharusnya pemuda mengambil peran dan menempatkan diri di dunia, khususnya di Indonesia seperti sekarang dimana berbagai persoalan bangsa telah semakin sulit untuk dimengerti,  apalagi dipecahkan.

soe hok gie dan soe hok djin (arief budiman)

soe hok gie dan soe hok djin (arief budiman) 

Organisasi Pencinta Alam Depok

Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini. Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya. Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain juga yang membaca buku ini.

Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.


Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu saya sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibu dia cuma tersenyum dan berkata “Ah, mama tidak mengerti”.

http://img.hipwee.com/cdn/wp-content/uploads/2014/06/gie-pelem1.jpg?30676a 
Sosok : Soe Hok Gie ( dalam Film GIE : 2008) 

Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju – mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orangtua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada saya, Hok Gie berkata: “Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si., saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”.

Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.

Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.
http://img.hipwee.com/cdn/wp-content/uploads/2014/06/1969-SalakDua-2-a.jpg?30676a

Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib. Herman Lantang. Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: “Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu”. Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya alah apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabannya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta.

Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab “Tidak. Mengapa?” Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, “untuk siapa peti mati ini?” Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. “Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?” Dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab “Dia orang berani. Sayang dia meninggal”.

Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami bercakap-cakap. Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus”. Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan hayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?

Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?

Tiba-tiba, saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya” atau “Tidak”, meskipun Cuma di dalam hatinya.

Saya terbangun dari lamunan saya ketika saya dipanggil naik pesawat terbang. Kami segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik “Gie, kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.

sumber:

Arief Budiman (Soe Hok Djin)
(seperti dimuat dalam buku Catatan Seorang Demonstran edisi 1993)