7 jenazah Pahlawan Revolusi utuh semua

http://static.inilah.com/data/berita/foto/2136075.jpg 

Hasil otopsi, 7 jenazah Pahlawan Revolusi utuh semua

JURNAL3 | Meski sudah puluhan tahun terjadi, peristiwa tragis pemberontakan G 30-S/PKI 1965 yang diisukan hendak melakukan kudeta di negeri ini, terus menjadi perdebatan menarik. Peristiwa dini hari itu hingga ini lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada jawaban.

Peristiwa G 30-S/PKI, ditandai dengan tewasnya 6 jenderal dan 1 perwira yang semuanya dikubur dalam satu lobang sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta Timur, dekat bandara Halim Perdanakusuma.
Mengangkat jenazah tujuh pahlawan revolusi di sumur Lubang Buaya bukan perkara gampang saat itu. Teknologi belum semaju saat ini. Kondisi sumur yang dalam dan sempit serta bau mayat yang mulai membusuk, membuat evakuasi teramat sulit dilakukan.

Dengan telaten, para prajurit dari Kompi Intai Amfibi Korps Komando Angkatan Laut (KIPAM KKO-AL), berhasil mengangkat satu per satu jenazah dari sumur tua itu.
Sebenarnya, pada 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD (kini Kopassus), yang saat itu dipimpin Komandan Peleton 1 Letnan Sintong Panjaitan, sudah menemukan lokasi sumur tempat jenazah 7 pahlawan revolusi dikubur, berkat informasi yang disampaikan oleh seorang polisi bernama Sukitman.

Usai dilakukan penggalian, Sintong memutuskan melaporan temuan itu karena lokasi sumur yang sempit dan bau mayat yang sangat menyengat.
Mayor Jenderal Soeharto, yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) langsung memerintahkan penggalian dihentikan malam itu juga menunggu bantuan datang esok harinya.

Pada 4 Oktober 1964, pagi hari, pasukan KKO dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto, dengan peralatan pernafasan selam, melakukan evakuasi jenazah pahlawan revolusi. Satu persatu pasukan KKO turun ke dalam lubang yang sempit itu.

Pukul 12.05 WIB, anggota RPKAD Kopral Anang turun lebih dulu ke Lubang Buaya. Dia mengenakan masker dan tabung oksigen yang dipinjam dari KKO. Anang mengikatkan tali pada salah satu jenazah. Setelah ditarik, diketahui jenazah pertama yang berhasil diangkat adalah jasad Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal AH Nasution.

Pukul 12.15 WIB, Serma KKO Suparimin turun, dia memasang tali pada salah satu jenazah, tapi rupanya jenazah itu tertindih jenazah lain sehingga tak bisa ditarik.

Pukul 12.30 WIB, giliran Praka KKO Subekti yang turun. Kali ini dua jenazah berhasil ditarik, yakni jasad Mayjen S Parman dan Mayjen Suprapto.

Pukul 12.55 WIB, Kopral KKO Hartono memasang tali untuk mengangkat jenazah Mayjen MT Haryono dan Brigjen Sutoyo.

Pukul 13.30 WIB, Serma KKO Suparimin turun untuk kedua kalinya. Dia berhasil mengangkat jenazah Letjen Ahmad Yani. Dengan demikian, sudah enam jenazah diangkat.

Untuk memastikan sudah kosong, seorang lagi yang turun ke sumur untuk mengecek. Tapi semua penyelam KKO dan RPKAD sudah tak ada lagi yang mampu masuk lagi karena sudah kelelahan. Bahkan, beberapa ada yang muntah-muntah karena keracunan bau busuk.

Tahu anak buahnya di KKO sudah tak mampu, maka Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto turun sendiri untuk melakukan pekerjaan terakhir dengan membawa alat penerangan.

Ternyata benar, di dalam sumur masih ada satu jenazah lagi. Jenazah itu adalah Brigjen D.I. Panjaitan. Usai ditarik, maka lengkaplah sudah jasad 6 jenderal dan 1 perwira yang dinyatakan tewas dan diculik oleh pasukan Tjakra Bhirawa, pasukan pengawal Presiden Soekarno, pada malam 30 September 1965.

Mereka yang jenazahnya ditemukan adalah:
1. Ahmad Yani, Letnan Jenderal (Menteri Panglima Angkatan Darat)
2. R. Soeprapto, Mayor Jenderal. (Deputi II Menpangad)
3. MT. Harjono, Mayor Jenderal. (Deputi III Menpangad)
4. S. Parman, Mayor Jenderal. (Asisten I Menpangad)
5. D. Isac Panjaitan, Brigardir Jenderal. (Deputi IV Menpangad)
6. Soetojo Siswomihardjo, Brigardir Jenderal. (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD)
7. Pierre Andreas Tendean, Letnan Satu. (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution)

Usai pengangkatan jenazah, banyak versi terkait kronologi kematian 7 pahlawan revolusi itu. Bahkan, dalam film Pengkhianatan G-30 S/PKI, yang merupakan film wajib tonton pada tahun 80-an, digambarkan para jenderal yang diculik diperlakukan tak manusiawi.
Mereka disiksa, disilet, dipukul dan dianiaya. Bahkan, ada ada rumor, kemaluan Lettu Piere Tendean dipotong sebelum ditembak mati, di kawasan Lubang Buaya. Namun benarkah ke-7 pahlawan revolusi itu mengalami siksaan pedih dan menyakitkan sebelum ajal menjemput?

Sore hari itu juga, sekitar pukul 16.30 WIB, lima dokter forensik didatangkan atas perintah Pangkostrad/ Pangkopkamtib Mayjen Soeharto.

Lima anggota tim dokter yang mengotopsi ketujuh mayat itu dua di antaranya adalah dokter Angkatan Darat, diantaranya, dr. Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat),Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK UI), dr. Liauw Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI) dan dr. Liem Joe Thay (atau dikenal sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI).

Lewat tengah malam, pukul 00.30 WIB, tanggal 5 Oktober 1965, kelima dokter berhasil merampungkan pekerjaan mereka. Kesimpulannya, dari hasil visum et repertum atas 7 jenazah, semuanya dalam kondisi utuh dan tidak ada bekas-bekas penganiayaan dan siksaan, seperti yang disaksikan dalam film.

Hasil visum itu sengaja tidak dipublikasikan untuk umum demi menjaga doktrin bahwa para penculik di bawah pimpinan Letkol Untung, komandan Tjakra Bhirawa, adalah kelompok kejam, bengis dan tidak manusiawi.

Bahkan, Letkol Untung harus mengakhiri hidupnya di depan regu tembak usai divonis mati dalam persidangan di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).

Pada 5 Oktober 1965, saat matahari di atas Kota Jakarta sudah tinggi, ke-7 jenazah pahlawan revolusi itu dimakamkan di TMP Kalibata dengan upacara militer super lengkap.

Presiden Soekarno menangis di atas makam Jenderal Ahmad Yani, usai dimakamkan

 
Proses pengangkatan jenazah 7 pahlawan revolusi di sumur tua Lubang Buaya, 4 Oktober 1965

Jalan Sunyi : Soe Hok-Gie




Judul Buku        : Soe Hok-Gie, Sekali Lagi
Editor                : Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan
Penerbit             : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan             : Kedua, Januari 2010
Tebal                  : xxxix + 512 halaman

Mengenang Soe Hok-Gie, barangkali kita bisa merasa bangga sekaligus miris dalam waktu yang bersamaan. Ia adalah aktivis mahasiswa angkatan 66 yang mempunyai kontribusi penting dalam menjatuhkan rezim Orde Lama (Orla). Bersama sahabat-sahabatnya, Hok-Gie menjadi salah satu aktor intelektual dari demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Tidak hanya melalui demonstrasi, ia pun kerap mengkritik pemerintahan melalui tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media cetak. Tulisan-tulisannya yang keras dan tajam tersebut seringkali membuat panas telinga para pejabat.

sampul depan 2Namun demikian, berbagai kritik yang dia lancarkan justru menimbulkan kebimbangan yang mendalam dalam hatinya. Simak saja ucapannya kepada Arief Budiman, kakaknya, beberapa waktu sebelum ia meninggal pada Desember 1969. “Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.

Buku Soe Hok-Gie, Sekali Lagi ini mencoba memotret Hok-Gie dari sisi kemanusiaan, terutama mengenai perasaan kecewa dan kesepian akut yang ia alami. Tak heran jika Gie begitu mengidolakan lirik lagu ini, Nobody knows the trouble I’ve seen, nobody knows my sorrow.Sehingga, dengan begitu buku ini melengkapi Catatan Seorang Demonstran (Cetakan 7, 2005) serta biografi Gie karya John Maxwell yang berjudul Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani (2001). 

Bila dua buku tersebut menggambarkan Hok-Gie sebagai seorang political animal, buku ini memakai pendekatan yang berbeda. Seperti diungkapkan Rudy Badil – editor – buku ini ditujukan untuk memberikan pesan kepada anak-anak muda negeri ini mengenai kesetaraan dan kepedulian tentang kemanusiaan dalam alam bangsa Indonesia.


http://media.viva.co.id/thumbs2/2008/12/15/60997_soe_hok_gie_641_452.jpg

Dalam bab 1 dan 2, buku yang diniatkan untuk memperingati 40 tahun kematian Hok-Gie ini membahas mengenai kronologi hari-hari di sekitar tragedi Semeru 1969 yang merenggut nyawa Hok-Gie dan Idhan Lubis. Beberapa penulis yang juga ikut mendaki Semeru 40 tahun yang lalu mencoba menjelaskan pergulatan yang terjadi menjelang dan pasca tragedi itu. Sebelum memutuskan untuk naik ke Semeru, perdebatan terjadi cukup seru di internal Mapala Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI), terutama antara Hok-Gie dan sahabatnya, Herman Lantang. Penyebab utamanya, ada tiga anak luar Mapala FS-UI – Rudy Badil, Idhan Lubis, serta Freedy Lasut – yang akan ikut perjalanan ke Semeru. Padahal kala itu, Mapala FS-UI hanya ditujukan bagi mahasiswa dari UI saja. Setelah melakukan debat, akhirnya, ketiga orang tersebut diperbolehkan ikut. Pada hari Jumat, 12 Desember 1969, rombongan yang terdiri dari 5 mahasiswa Mapala FS-UI dan tiga anak luar Mapala berangkat menuju Semeru.

Tak disangka, pendakian menuju puncak tertinggi di pulau Jawa itu berakhir dengan sebuah tragedi. Hok-Gie dan Idhan Lubis meninggal setelah menghirup gas beracun di tepian lereng menjelang puncak Semeru (halaman 27-28). Kejadian tersebut terjadi tepat sehari menjelang ulang tahun Hok-Gie yang kedua puluh tujuh. Cita-cita sejarawan muda tersebut untuk merayakan ulang tahun di puncak Semeru pun kandas. Enam orang lain yang masih bertahan sungguh merasa shock. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha turun dan mencari bantuan untuk mengevakuasi jenazah Hok-Gie dan Idhan Lubis yang tetap ditinggal di atas. Seminggu kemudian, jenazah berhasil dievakuasi dan kemudian dimakamkan di Jakarta. Hari itu, Indonesia kehilangan salah satu intelektual muda terbaiknya.

Di bab 3 dan 4, sahabat-sahabat Hok-Gie mencoba menuliskan serpihan-serpihan kenangan mereka mengenai sosok yang disebut musuh-musuhnya sebagai ‘Cina kecil”. Salah seorang sahabatnya di senat FS-UI tahun 1967-1969, Luki Sutrisno Beki, menyebut Hok-Gie sebagai seorang moralis absolut. Sederhananya, seorang moralis yang memakai perspektif absolut tidak akan membunuh seseorang meskipun dia tahu bahwa orang itu salah, bahkan ingin membunuhnya. Luki juga menyebut Hok-Gie seorang humanis universal. Itu terlihat dari sikapnya yang mendukung orang-orang yang tertindas. Contohnya, Hok-Gie adalah orang yang mengatakan dengan tegas bahwa dirinya adalah anti komunis. Namun ketika terjadi ketidakadilan terhadap simpatisan PKI pasca peristiwa 1965, Hok-Gie pun tak segan-segan untuk bersimpati kepada PKI dan mengkritik pemerintahan Orde Baru yang memunculkan tanda-tanda akan menjadi penguasa yang otoriter.

Kekecewaan

Meskipun termasuk sebagai salah satu “bidan” kelahiran Orde Baru, Hok-Gie justru menemukan banyak kekecewaan ketika Orba mulai eksis. Selain kekecewaan terhadap Soeharto dan TNI yang mulai bertingkah arogan, Hok-Gie juga kecewa terhadap akademisi-akademisi yang dulu mendukung Soekarno, tapi sekarang berbalik arah dan mendukung Soeharto. Dengan tegas, Hok-Gie menyebut orang-orang ini sebagai pelacur intelektual. Tanpa tedeng aling-aling, dalam tulisan-tulisannya di media, dia menyebut nama Emil Salim, Sadli, Ismail Suny sebagai seorang pelacur intelektual. Benar-benar menyentuh tabula rasa nama orang-orang yang dikritiknya.
 
Seperti diungkapkan Ikrar Nusa Bhakti, kekecewaan yang begitu mendalam terhadap teman-teman aktivis seangkatannya pun ia rasakan ketika mereka berebut masuk ke parlemen dan kemudian berebut untuk mendapatkan kredit mobil Holden (halaman 340). Akumulasi kekecewaan demi kekecewaan ini ditunjukkan dengan mengirimkan sejumlah paket yang berisi alat kecantikan kepada rekan-rekannya yang menjadi angggota parlemen. Tak lupa ia mencantumkan kalimat sindiran, “gunakan ini agar makin tampil cantik di parlemen”. Ini adalah aksi terakhir sebelum pendakian ke Semeru yang merenggut nyawanya. Aksi yang membuatnya tambah terpencil lagi di hadapan teman-teman mahasiswa yang dulu bersama-sama turun ke jalan. Hok-Gie merasa semakin kesepian. Ben Anderson, sahabat  di Cornell University mencoba menghibur. “Gie, seorang intelektual bebas adalah pejuang yang selalu sendirian”, ungkap Ben Anderson dalam suratnya.

Namun, itu pun tidak mampu menghibur Hok-Gie. Dalam keadaan yang penuh kekecewaan dan kesepian inilah Hok-Gie bersama 7 orang sahabatnya mendaki Semeru di akhir tahun 1969. Pendakian ini menjadi bentuk ekspresi untuk sejenak melarikan diri dari masalah yang sedang dihadapi. Namun, takdir memang tak dapat ditolak, Gie menghembuskan nafas terakhirnya di puncak tertinggi di Pulau Jawa.

Buku ini kemudian di tutup dengan beberapa tulisan Hok-Gie yang pernah dimuat di surat kabar (Bab 5). Salah satu tulisan paling berani yaitu ketika ia menulis artikel dengan judulBetapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang. Artikel yang berisi kritiknya terhadap Orba dan Soeharto ini membuat Hok-Gie hampir diserempet oleh mobil. Arief Budiman yakin hal itu dikarenakan tulisannya. Hok-Gie memang seorang yang tidak takut mati dibunuh orang. Satu-satunya ketakutannya yang terbesar adalah ia dibuat cacat sehingga menjadi beban bagi orang-orang terdekatnya.

Akhirnya, membaca Hok-Gie adalah membaca potret seorang mahasiswa Indonesia yang selalu gelisah melihat ketidakadilan terjadi di sekelilingnya. Potret mahasiswa yang memilih jalan sunyi dan berseberangan dengan rekan-rekannya. Bahkan untuk jalan sunyi itu, ia harus menahan dalam-dalam rasa kesepian dan kekecewaan. Sampai akhirnya, maut merenggut nyawannya. Ia mati tercekik gas beracun di tempat yang terpencil dan dingin.

Baluran Afrika di Indonesia

http://anekatempatwisata.com/wp-content/uploads/2015/06/Taman-Nasional-Baluran-Jawa-Timur.jpg 
 
Taman Nasional Baluran yang berada di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, ternyata menyimpan sejuta keindahan. Apa saja?

Bentang alam seluas 25 ribu hektare ini mempunyai beberapa jenis hutan, satwa, tumbuhan. Selain itu, kekayaan bawah lautnya juga menakjubkan. Belum lagi hamparan padang savana yang kini tersisa 5 ribu hektare serasa membawa kita di Afrika.

Tak heran jika padang savana Bekol di Baluran dikenal dengan sebutan “Little Africa”. Berbagai satwa, seperti kerbau, rusa, burung merak, monyet ekor panjang, banteng, bisa dinikmati di padang savana ini.

Salah seorang petugas Taman Nasional Baluran, Agus, menjelaskan bahwa kawanan rusa, merak, dan monyet ekor panjang dapat mudah dijumpai di padang savana, terutama pada pagi dan malam hari. “Untuk banteng sangat jarang sekarang, kalau tahun 2000 lalu masih sering dijumpai di padang savana,” kata Agus.

Ia menyebutkan, berbagai kegiatan wisata bisa dilakukan oleh pengunjung. Selain itu, kegiatan lain seperti penelitian, pengamatan satwa, dan lain-lain juga bisa dinikmati pengunjung. Setidaknya ada sembilan aktivitas yang bisa dinikmati pengunjung di Baluran ini.

Sembilan kegiatan yang dapat dinikmati para pengunjung, yaitu, tracking, pendakian ke Gunung Baluran, pengamatan satwa, pengamatan burung, snorkeling dan diving, canoing, wisata bahari, forografi, dan bersepeda di savanna Bekol dan sekitarnya.


http://anekatempatwisata.com/wp-content/uploads/2015/06/Taman-Nasional-Baluran.jpg

Memasuki Taman Nasional Baluran, kita akan disambut dengan bentang hutan lebat yang dinamakan hutan musim. Setiap musim kemarau, hutan ini selalu kering dan terlihat kecoklatan serta rawan terjadi kebakaran.

Setelah berjalan beberapa kilometer, bentang hutan yang selalu hijau sepanjang tahun dinamakan hutan evergreen. Setelah itu, kita melewati hutan musim lagi sebelum memasuki kawasan padang savana Bekol.

Selama melewati hutan berlapis tadi, pemandangan meanrik bisa kita saksikan dari dalam mobil, beragam satwa liar, seperti monyet ekor panjang, burung merak, ular, serta satwa lainnya terkadang berada di tengah jalan. Di sini kita bisa berhenti dan mendekat dengan pelan-pelan untuk mengabadikan gambar mereka.

Setelah sampai di padang savana Bekol, pengunjung biasanya melihat obyek bentang alam Baluran dari menara. Hamparan savanna, hutan, serta Gunung Baluran dapat kita lihat sejauh mata memandang. Di sebelah selatan ada Gunung Baluran yang dikelilingi hutan lebat, di sebelah selatan ada hamparan savana yang diakhiri dengan lautan luas yang merupakan selat Bali.

Pengunjung juga bisa berjalan-jalan membelah padang savana. Jika beruntung kita bisa melihat kawanan kerbau, rusa, burung merak, monyet ekor panjang, serta aneka satwa lainnya denga jarak yang lumayan dekat untuk mengambil gambar.

Selepas melewati padang savana, pengunjung berada di kawasan Pantai Bama. Pengunjung bisa memilih aneka aktivitas, seperti snorkeling, canoing, maupun diving untuk melihat kekayaan bawah laut Pantai Bama.