Soe Hok Gie adalah peranakan Tionghoa yang hidup pada masa
kemerdekaan. Ia merupakan seorang yang pintar dan kritis. Sewaktu duduk
di bangku sekolah dasar, Soe Hok Gie memperdebatkan pekara Chairil
Anwar. Soe Hok Gie berpendapat bahwa Chairil itu penerjemah bukan
seorang pengarang, tetapi sang guru tetap berpendapat bahwa Chairil
adalah seorang pengarang.
Setelah kejadian tersebut, Soe Hok Gie
menerima nilai ulangan yang jelek karena mendapat pengurangan nilai dari
sang guru. Soe Hok Gie tidak menerima dan melawan. Jiwa kritis dan
melawan ketidakadilan mulai tertanam dalam diri Soe Hok Gie hingga
dewasa. Di sisi lain, Soe Hok Gie mempunyai sahabat karib bernama Hans.
Namun, Hans pergi entah kemana karena mengikuti tantenya.
Pada saat dewasa, Soe Hok Gie melanjutkan pendidikan di Fakultas
Sastra Universitas Indonesia. Ia gemar sekali mendaki gunung. Ia juga
mendirikan Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia).
Wawasan yang luas dan kegemaran menulis membuat Soe Hok Gie mendapat
tawaran untuk mengikuti sebuah organisasi. Namun, tawaran tersebut
ditolak. Selain itu, Soe Hok Gie bekerja sama dengan militer untuk
membuat tulisan propaganda melawan PKI.
Hal tersebut terbukti efektif
karena mampu menumbangkan PKI. Sementara itu, Soe Hok Gie juga
kehilangan sahabat karibnya yang mengikuti PKI. Suatu hari Soe Hok Gie
tidak sengaja bertemu dengan Hans dan diketahui bahwa Hans mengikuti
PKI. Soe Hok Gie telah meminta agar Hans tidak ikut terlibat dalam PKI,
tetapi tetap saja tampak jejak PKI dalam rumah Hans. Para PKI disiksa
secara tidak manusiawi dan terjadi pembunuhan massal. Soe Hok Gie
menelusuri peristiwa pembantaian PKI dan membuat tulisan mengenai hal
tersebut. Tidak hanya itu, Soe Hok Gie juga memberikan opini melalui
radio-radio. Semenjak hal tersebut, Soe Hok Gie merasa dibuntuti oleh
orang yang tak dikenal hingga kematiannya. Soe Hok Gie meninggal karena
menghirup gas beracun saat menaiki gunung.
Tokoh Soe Hok Gie diperankan dengan baik oleh Nikolas Saputra.
Meskipun raut muka Nikolas Saputra tidak begitu terlihat seperti
peranakan Tionghoa, tetapi hal tersebut tersebut diimbangi dengan sikap
dingin dan pemberontak yang sangat menonjol diperlihatkan. Entah,
Nikolas Saputra spesialis akting sebagai manusia dingin atau memang di
kehidupan nyata bersikap dingin. Kehebatan sikap dingin yang ditampilkan
Nikolas Saputra juga dapat terlihat di film terdahulu, yaitu Ada Apa
Dengan Cinta (AADC). Selain itu, penggambaran keadaaan masa lampau yang
ditampilkan ikut menambah suasana tegang. Ya, tegang dan mencekam. Dua
hal tersebut yang mungkin memang dirasakan oleh orang-orang yang hidup
di era tersebut. Kedua suasana tersebut mampu ditranfer dengan baik
kepada penontonnya.
Namun, bagian akhir cerita yang antiklimaks membuat cerita dalam film
Soe Hok Gie menjadi samar-samar kejelasannya. Mungkin, sutradara
bermaksud ingin membuat penonton mengintrepretasikan sendiri akhir
cerita. Atau mungkin memang begitulah cerita perjalanan Soe Hok Gie
sesungguhnya. Hal yang terasa mengganjal adalah ketidakkorelasian antara
sesudah bagian tengah dan akhir cerita. Pada bagian tengah cerita
digambarkan bahwa Soe Hok Gie mencari tahu kematian temannya, Hans,
seorang PKI.
Setelah mengetahui kekejaman tentara dalam menumpas PKI,
Soe Hok Gie membuat berita mengenai hal tersebut. Semenjak membuat
berita tersebut, Soe Hok Gie merasa dibuntuti oleh orang yang tidak
dikenal. Akhir cerita, tertulis jelas bahwa Soe Hok Gie meninggal
keracunan gas pada saat mendaki gunung. Kedua hal tersebut tidak bisa
dipadukan. Jika memang Soe Hok Gie hanya keracunan gas, seharusnya
bagian Soe Hok Gie dibuntuti tidak perlu diperlihatkan. Hal tersebut
membuat spekulasi lain bahwa Soe Hok Gie meninggal karena dibunuh.
Anggapan demikian tidak mengherankan karena pada zaman Orde Baru marak
terjadi pembunuhan terselubung.